KARYA :NA

KARAWANG,PELITA ON LINE.


Usiaku baru menginjak 16 tahun saat aku menikah. Sejak awal aku sudah menduga pernikahan dini ini sebelumnya. Sejak awal aku sudah sadar kalau aku akan menjadi satu dari ratusan gadis di kampungku yang harus menikah di usia dini karena latar belakang kemiskinan finansial, kemiskinan intelektual dan kemiskinan spiritual. Tapi aku sudah sangat terbiasa merasakannya dan menjadikannya sebagai selimut kehidupanku. Dari dulu aku memang sudah terbiasa hidup serba kekurangan. Pahit getir yang dirasakan oleh kedua orangtuakupun sudah sering kurasakan.

Dan pernikahan itu tetap harus terjadi, meskipun sekuat tenaga dan ribuan cara telah
kulakukan agar aku bisa menjadi pendobrak. Agar aku bisa melawan arus. Agar aku bisa menjadi gadis yang maju dan berbeda dari kakak-kakak perempuanku juga para gadis di kampungku. Sejak kelas 3 SD keinginan itu sudah menghujam dengan kuat di hatiku dan aku punya semangat yang besar untuk mewujudkannya. Sejak itupula aku bekerja sebagai kuli di pabrik genteng, berdagang, kuli bersawah dan berbagai pekerjaan kasar lainnya aku lakoni hanya untuk mengumpulkan uang sebagai biaya pendidikanku. Agar aku bisa melanjutkan ke SMP. Bahkan lebih tinggi dari itu.

Hingga akhirnya akupun bekerja di sebuah gedung tinggi menjulang dengan berpakaian rapi, bekerja di depan kotak persegi empat dan menggerak-gerakan jemariku di tombol-tombolnya seperti yang sering kulihat di sinetron saat nonton TV di rumah pak RT. Bagaikan di sambar petir, kedua orangtuaku bercerai. Dan untuk mengurangi bebannya sebagai orangtua tunggal, ibuku segera mencarikan lelaki untuku dan menikahkanku
Sekarang aku sudah tidak mau lagi meratapi nasib. Aku mengerti, kalau bukan karena cinta pada anak-anaknya, tidak mungkin ibuku mau menjadi pembantu atau TKW di luar negeri selama bertahun-tahun. Keinginan ibuku untuk di cintai membuatnya menikah tiga kali. Bahkan dia menikah semata-mata hanya untuk mencukupi hidupku dan anak-anaknya.

Hampir sebagian besar keluargaku pergi ke luar negeri menjadi TKW. Ibuku, kedua kakak perempuanku lalu menyusul diriku. Di dunia ini, di lingkungan keluargaku. Sudah terlalu banyak kutemukan orang yang rela berkorban demi menjadi tumbal bagi orang-orang yang dicintainya. Ibuku yang mengorbankan sebagian besar waktunya di luar negeri. Jauh dari anak-anaknya. Lalu kedua kakak perempuanku, aku dan keponakanku yang sekarang telah menjadi tulang punggung keluarga. Yang menafkahi adik-adiknya juga ayahnya yang pengangguran dan sudah sakit-sakitan.

Lalu sudah tibakah pengorbanan yang akan di lakukan oleh putriku sekarang. Melakukan pengorbanan yang besar untuk keluarganya. Menjadi martir demi kesejahteraan dan masa depan keluarganya. Ternyata putriku lebih idealis dariku malah dia selalu menjadi pemberontak. Baru duduk di bangku kelas 3 SMP saja dia sudah berpikir so intelek begitu. Putriku berbeda dengan gadis remaja lain yang sedang gandrung-gandrungnya menikmati cinta masa remaja mereka. Semenjak berhenti dari pesantren karena kendala biaya, Putriku jadi selalu menghabiskan waktunya mengurung diri di kamar. Bergelut dengan buku-buku tebal yang berjejer dengan rapi di lemarinya, baginya hidup itu hanya untuk sekolah, belajar, menulis, membaca, menggambar dan berorganisasi. Putriku selalu menghiasi hidupnya dengan mimpi-mimpi dan ambisi untuk mengejar kesuksesan dengan ilmu bukan dengan harta.

Keluargaku yang lain masih menganggap kalau berbagai prestasi yang telah diraih oleh putriku tidak terlalu berarti. Mereka masih menganggap bahwa kesuksesan finansial adalah kesuksesan yang sesungguhnya. Sementara di luar itu, pekerjaan-pekerjaan rumah yang menumpuk selalu di lalaikannya dan tidak pernah di kerjakan dengan baik olehnya. Setiap hari dia selalu berangkat pagi-pagi dan pulang malam.
Perceraian memang telah merubah semuanya. Begitu pula dengan putriku.

Dia berubah menjadi seorang pembangkang setelah aku bercerai dengan ayahnya saat dia masih duduk di bangku kelas 3 SD, lalu menyusul pernikahan keduaku dan selanjutnya pernikahan ketigaku. Malah dia cenderung memusuhiku setelah aku menikah lagi. Bahkan pernah kabur dari rumah.

Rupanya sifat idealisku dan ayahnya yang wartawan itu menurun padanya. Ketidaksetujuan lelaki itu pada keputusanku untuk menjadi TKW harus di bayar oleh perceraian sepihak yang di lakukannya. Saat aku di luar negeri, dia dengan seenak jidat mentalakku dengan talak satu. Bumi seakan runtuh setelah aku mendengar kabar itu. Aku sangat tidak percaya, tapi lagi-lagi aku sudah menduga hal ini sebelumnya. Aku sudah menduganya, sejak dia marah besar padaku saat aku menyampaikan maksud untuk menjadi TKW.

“Dasar istri goblok ! Pergi saja sana ke luar negeri!!!” teriak lelaki itu kasar
Aku hanya bisa terisak menunduk di hadapannya. Menunduk malu pada putriku yang saat itu baru kelas dua SD dan kakakku yang juga hadir saat itu di kontrakan kami yang sempit. Aku kira dia tidak akan semarah itu, bagaimana mungkin lelaki berpendidikan seperti dia melontarkan kata-kata seperti itu. Selama ini aku percaya padanya karena di lebih tinggi pendidikannya dariku. Kalau bukan karena kau diam-diam menghutang pada ibuku aku tidak akan mungkin mau pergi keluar negeri untuk melunasi hutang-hutangmu. Tidak mengertikah kau akan pengorbananku ini.
“Tak ada cara lain lagi, saya cuma mau bantu kamu melunasi hutang-hutang kita.” ucapku terisak.

Dengan amarah yang masih bergolak-golak. Aku mendobrak pintu kamar putriku. Kesabaranku sudah habis dan emosiku sudah memuncak. Aku sudah bosan menghadapi pembangkangannya, menerima kata-kata perlawanannya, ekspresi wajahnya yang seperti memusuhiku, kengganannya untuk mengaji di surau, pembelaannya pada ayahnya, kemalasannya dan kebiasaannya melalaikan pekerjaan rumah.
“Percuma saja kamu berkerudung, percuma saja disukai semua orang, percuma saja kamu pesantren, kalau kamu masih durhaka pada orangtua! Dasar munafik, anak durhaka!”
Putriku menatap lurus ke arahku
“Buat apa banyak baca buku tebal-tebal, kalau toh buku-bukumu itu tidak bisa merubah sopan santunmu pada orang tua! Pendidikanmu juga malah membuatmu menjadi anak durhaka!!”

Ku ambil bukunya dan kuacak-acak buku-buku yang ada di lemarinya.
“Filsafat Islam, metode shalat Khusyuk, Istri soleha…!!! Lihat, lihatlah buku-bukumu, masih belum baguskah untuk merubahmu jadi lebih baik lagi. Dan jilbab panjangmu itu cuma topeng saja, topeng. Aku tahu aku ini hanya lulusan SD, aku masih belum bisa menjadi ibu yang baik untukmu. Aku memang tidak pintar. Tapi aku ini ibumu, Putri! Ibumu!” ucapku dengan suara yang keras, aku tidak peduli apakah semua tetanggaku mendengarnya atau tidak. Aku tidak peduli.
Putriku diam membisu, sepertinya dia sadar kalau apa yang telah dilakukannya selama ini sudah di luar batas kesabaranku. Diapun segera keluar dari kamarnya dan mengejarku. Berdiri dihadapanku dan langsung memeluk lututku. Memeluk lututku erat sampai aku tidak bisa bergerak.
“Maafin Putri ma, maafin Putri…”

Aku tetap berdiri dengan angkuh di pangkuan putriku. Menganggap bahwa apa yang telah di lakukan putriku sekarang hanya kepura-puraan saja. Tiba-tiba putriku bersujud di depanku dan mencium kakiku. Kakiku terasa basah oleh derasnya airmata putriku yang hangat dan hatiku luluh.
“Bangun nak, sudah….bangun….” ucapku lirih.
“Tidak sebelum mama mau maafin Putri, Putri gak bakalan bangun.”
“Mama udah maafin kamu.”
“Mama boleh memarahi Putri seperti apa saja, tapi jangan manggil Putri anak durhaka. Putri gak mau jadi anak durhaka. Durhaka sama mama berarti Putri udah durhaka sama Allah, Putri gak mau ma….jangan panggil Putri anak durhaka, jangan ma…”
Kupegang kedua pundak putriku agar dia berdiri. Dan kupeluk tubuhnya erat.

Kurasakan cepatnya detak jantung Putriku dalam detak jantungku, kurasakan getaran tubuhnya dalam getaran tubuhku, kudengar dengan jelas isakan tangisnya dalam tangisku. Tak ada lagi kata-kata yang bisa kuucapkan. Kata-kataku sudah tercekat di tenggorokan. Kemarahanku pada Putriku menguap sudah. Menguap oleh tangis haru kami. Putriku menghapus airmataku dengan tangan hangatnya dan menciumi tanganku lalu mengelap tanganku yang basah oleh airmatanya dengan ujung jilbabnya. Semenjak perceraian pertamaku, belum pernah aku merasa sedekat ini dengan putriku. Belum pernah seerat ini aku memeluk putriku. Belum pernah kami menangis bersama seperti sekarang. Dulu, bila dia menangis aku selalu mendiamkannya. Dan bila tiba saatnya aku menangis sekalipun belum pernah dia menenangkan hatiku, apalagi menghapus airmataku. Aku berhenti memanjakannnya, berhenti mengajarinya mengaji, berhenti mencabuti gigi-giginya yang goyang, berhenti memasak sayur jamur kesukaanya. Berhenti mengambili kutu-kutu di rambutnya. Semuanya seakan berhenti begitu saja setelah dengan berat hati untuk kesatu, kedua dan ketiga kalinya aku meninggalkan putriku selam bertahun-tahun untuk bekerja di luar negeri menjadi TKW. Perpisahan membuat kami jadi terasing. Putriku menganggapku asing.
Apalah yang bisa di harapkan dari seorang gadis lulusan SD sepertiku. Apa yang bisa di harapkan dariku. Hingga akhirnya aku menikah tanpa cinta dengan seorang lelaki yang baru kukenal hanya beberapa jam. Lelaki yang menurunkan sifat idealis dan penuh teoriny pada putriku ini.

Malamnya, aku memasuki kamar putriku yang sedang tertidur pulas di meja belajarnya. Sepertinya di sangat kelelahan setelah dengan paksa menyuruhku istirahat lalu mengambil alih semua pekerjaan rumah. Dia masih belum terbiasa bekerja seberat itu. Sepertinya putriku menulis sesuatu di bukunya. Rasa penasaranku membuatku mengambil dengan pelan buku itu lalu kubaca.
Aku kangen mendengarkan kata-kata yang sering di ucapkan oleh ibuku yang super cerewet itu padaku.
“Jangan lupa, nyuci sepatu itu tiap hari sabtu.
Nyuci baju itu minimal 2 kali seminggu.
Bekas haid di celana dalam itu baiknya di cuci pakai sabun mandi, supaya bau anyirnya hilang.
Gosok gigi itu tiap habis makan Putri.
Jangan jemur pakaian dalam di luar, malu aurat!
Kalau masak pake kompor apinya di tunggu sampai berwarna biru dulu!
Makanya kalau nyari kutu dirambut itu tiap hari.
Jadi perawan itu harus rapi, kalau nyetrika harus kelihatan garis-garisnya.
Nanak nasi itu yang pulen.
Hingga akhirnya tanpa kusangka-sangka mamaku mengucapkan kata-kata itu.
Percuma saja berkerudung, percuma saja di sukai semua orang, percuma saja pesantren kalau kamu durhaka pada orangtua!!

Itulah serangkaian nasihat yang sering di berikan oleh ibuku yang sangat kurindukan. Yang berjasa besar namun sering kulupa.
Hari ini adalah hari terakhir kebersamaanku dengan ibuku. Besok aku harus pergi ketempat ayah. Aku akan melanjutkan pendidikan SMA di sana. Dikala amal baktiku yang masih sedikit pada ibuku, aku malah terlalu sering menggores luka di hatinya. Sampai detik inipun aku masih diliputi oleh ketidakpuasan, untuk terus mengabdikan diriku padanya. Meskipun aku tahu, seberapa besar pengorbanan seorang anak terhadap kedua orangtuanya, khususnya ibu, jasa-jasanya tetap takkan terbalaskan. Sebagaimana kisah seorang sahabat Rasulullah yang memberikan seluruh upahnya, menggendong ibunya dan tidak pernah bermuka masam terhadap ibunya. Tetapi semua itu tidak bisa menandingi segala jasa-jasa orangtua yang tak terbalaskan.

Oh ayah dan ibu, aku mohon maafkanlah aku. Karena telah lupa bahwasanya di dunia ini cinta sejati hanya bersemayam di hati kalian berdua. Maafkanlah aku karena telah disibukan oleh pencarian cinta yang semu. Bagiku semua cinta adalah semu kecuali cinta sejati orangtuaku yang tak terkayakan.
Mengenang ayah dan ibu adalah sebuah kesahajaan dua pribadi yang sederhana. Yang berwujud dalam diri dua orang manusia yang sebagian darahnya mengalir di tubuhku. Yang seluruh cintanya selalu memancar setiap saat aku menatap bayanganku di cermin.
Pahlawan masa kanak-kanakku. Bahkan hingga kini. Walau saat ini angin telah menyapu semua jejak-jejak kalian dan tak satupun burung yang bernyanyi membawakan kabar kalian. Kalian tetap bagian dari diriku selamanya.

Kurasakan gerimis membasahi hati bila kukenang setiap serpihan demi serpihan kenangan indahku bersama kalian. Semoga aku bisa mewujudkan diri sebagai buah hati kalian yang soleha. Dimana karena kemakbulan doanya. Allah mengampunkan orangtuaku dan kepakan demi kepakan sayap malaikat mengangkat orang tuaku ke surga-Nya…
Kuambil pulpen dan kutuliskan segala asa di hatiku pada putriku dalam diarynya ini.
Putriku, putri carilah kebahagiaanmu dengan caramu sendiri, mencari pekerjaan yang kau cintai dan melakukan hal-hal yang kau cintai tanpa melepas mimpi-mimpimu, tanpa harus mengorbankan kebahagiaanmu untuk orang-orang yang kau cintai. Putriku putri, kebahagiaan itu bukanlah keberhasilan membahagiakan orang lain dengan mengorbankan kebahagiaan dan ketenanganmu sendiri.

Sangat tidak tepat jika orang lain di buat bahagia sementara kau sendiri cemas, gelisah, dan sedih menggerus hatimu. Cukup mama saja yang berkorban, cukup mama saja yang bercerai, cukup mama saja yang bodoh, cukup mama saja yang hidup prihatin, cukup mama saja yang jadi TKW, cukup mama saja yang menikah di usia remaja. Kau tidak boleh mengalami kesedihan yang mama alami, kau tidak boleh menyelimuti hidupmu dengan tangis. Cukup mama saja putri, cukup mama saja…
Maafkan mama Putri, maafkan mama, maafkan mama. Tangis dan sedihmu adalah sebagian duka mama. Engkau akan selalu menjadi belahan jiwa mama?RED.