Pada akhir 2009, jumlah masyarakat Indonesia yang belum memiliki kemampuan mengenal dan membaca tulisan itu mencapai 8,7 juta jiwa atau sekitar 5,3 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Menurut Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas, Mohammad Nuh, ada tiga cara penyelesaian masalah buta aksara di Indonesia. Salah satunya dengan melakukan metode penyelesaian secara sistematis.

"Kita perlu fokus pada daerah yang masih memiliki kepadatan jumlah buta aksara. Setiap propinsi, kabupaten, dan kota perlu memiliki data penduduk buta aksara by name dan by address dan setelah data itu dimiliki langsung diselesaikan di tempat," ujar Mendiknas di hadapan ratusan tamu undangan, pada pembukaan peringatan Hari Aksara Internasional ke-45, Minggu (10/10) di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Cara lain yang dapat dilakukan, menurut Nuh adalah mengawinkan program pemberantasan buta aksara dengan pendidikan kecakapan hidup atau life skill. Dengan demikian, seseorang tidak hanya diajari untuk dapat membaca tetapi juga diberikan keterampilan yang dapat meningkatkan taraf hidupnya.

Ketiga, melalui pendidikan. Pemerintah bersama dengan DPR berkomitmen agar pendidikan hak belajar 9-12 tahun dibebaskan dari pungutan atau biaya yang tidak perlu. "Dengan demikian, setiap orang berhak mendapatkan pendidikan tanpa kecuali," ujar Menteri Nuh.

Dalam kesempatan itu pula, Mendiknas menegaskan agar jangan ada lagi pendatang baru yang mengalami kesulitan dalam mengenal aksara. Aksara memiliki tiga makna penting bagi sebuah negara. "Pertama, simbol keberadaban sebuah bangsa. Kedua, alat untuk mengenali hasil pemikiran orang lain, dan ketiga sebagai literasi etika. Keaksaraan bisa menjadi penopang utama budaya dan keberadaban," tutur mantan Menteri Komunikasi dan Informatika ini.

PP Nomor 66 Tahun 2010
Menteri Nuh juga sempat menyinggung Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Dengan adanya PP tersebut, setiap perguruan tinggi negeri (PTN) wajib mengalokasikan 20 persen kursi yang tersedia, bagi mahasiswa yang memiliki keterbatasan ekonomi.

"Jangan sampai karena miskin, mahasiswa yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, tidak dapat masuk PTN. Kita harus ubah itu," ucapnya. Nuh mengharapkan dengan peraturan tersebut, 5-10 tahun lagi lahir sarjana-sarjana baru yang sanggup menaikkan taraf hidup diri dan keluarganya, menjadi lebih baik.

Dalam kesempatan yang sama, Nuh juga membuka secara resmi seminar bertajuk "Kesetaraan Gender Mewujudkan Kesetaraan Layanan Pendidikan Bermutu" dalam rangka peringatan satu dasawarsa pengarusutamaan gender dalam bidang pendidikan yang akan digelar Senin (11/10) pagi. (ratih)/Sumber:kemdiknas.