Karawang;Geliat Pilkada Jawa Barat telah dimulai dengan "Gong" yang dibunyikan oleh Partai Nasdem bersama Ridwan Kamil, sang Wali Kota Bandung yang diusung sebagai bakal calon Gubernur pada Minggu, 19 Maret 2017 lalu.

Sebagian kalangan menganggap langkah ini prematur karena dilakukan secara tiba-tiba. Sebagian lagi menganggap hal ini sebagai langkah jitu karena berdasarkan rilis sebuah lembaga survei, elektabilitas milik pria berkacamata itu sedang moncer.

Sekelompok pengamat dadakan malah nyinyir dengan melontarkan cemoohan atas kursi Partai Nasdem di DPRD Jawa Barat yang hanya 5 kursi, tetapi dengan gagah berani mendeklarasikan bakal calon Gubernur Jawa Barat tanpa "badami" (pembicaraan musyawarah) dengan partai lain.

Hemat saya, tidak keliru jika besutan Bos Metro TV itu meminang Ridwan Kamil. Pun, tidak juga keliru, respon sang Walikota menerima pinangan Partai Nasdem. Kalau keduanya suka sama suka, apa hendak mau dikata? Bukankah cinta tak pernah mengenal harta? (Baca : 5 kursi Partai Nasdem di DPRD Jawa Barat).

Saya memiliki pandangan, bahwa pernikahan dini yang dijalani oleh Partai Nasdem dengan Ridwan Kamil lebih didasarkan pada pertimbangan figur sang pengantin. Dalam konteks ini, gagasan Ridwan Kamil sebagai Walikota Bandung, belumlah seluruhnya teruji secara kebijakan publik. Apalagi, periode pertama dirinya sebagai pejabat publik pun belumlah selesai.

Idealnya, andai ingin memiliki pernikahan yang sakinah, mawaddah wa rahmah, haruslah diperhatikan variabel-variabel lain yang menjadi pendukung suksesnya upaya politik dalam mewujudkan pembangunan yang mapan. Dalam arti, pembangunan yang holistic, bukan tampilan infografik.

Secara personal, Ridwan Kamil memang merupakan magnet yang dapat menarik siapapun yang melihat. Ingat, saya katakan melihat, belum tentu, ketertarikan itu akan tetap ada, saat personality itu dikuliti habis-habisan dengan berbagai macam pisau analisis pemikiran.

Elektabilitas Ridwan Kamil memang diatas angin, paling tidak menurut lembaga-lembaga survei, belumlah kita mengetahui hasil suvei yang dilakukan oleh lembaga intelejen atau sejenisnya yang mampu memotret secara riil kondisi dan situasi politik sebuah daerah. Hasil survei semacam ini, biasanya hanya terbatas bagi beberapa user (baca: kalangan) saja.

Selain Ridwan Kamil dan Partai Nasdem, klub lain yang sampai repot menentukan komposisi skuad jelang Pilkada Jawa Barat adalah Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera bersama Deddy Mizwar.

Sempat dikatakan oleh Presiden PKS, Shohibul Iman bahwa bintang iklan itu akan berduet dengan Ustadz Ahmad Syaikhu, tetapi ternyata esok harinya, dibantah habis-habisan oleh sekutunya sendiri yakni Partai Gerindra, bahwa pernyataan tersebut belum final, masih bersifat pendapat personal.

Secara keseluruhan, Partai Politik di Jawa Barat (mungkin juga di seluruh Indonesia) memang telah mengalami krisis perkaderan. Hanya satu kader Partai Politik yakni Dedi Mulyadi yang berasal dari Partai Golkar yang elektabilitasnya bersaing dengan Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar. Nama pertama itu selalu masuk tiga besar dalam rilis berbagai lembaga survei.

Saya kira, ada entry point yang terlupakan dalam setiap turnamen politik yakni adu kesesuaian platform dan visi untuk daerah, bukan adu ganteng dan tampan juga bukan adu kekhusyukan dalam berdoa.

Sebab Syaikh An Nafari dalam Syarah Kitab Hikam mengatakan bahwa Keadilan seorang pemimpin itu jauh lebih berharga daripada jumlah wirid-nya dalam setiap hari. Artinya, dalam konteks ini, kesalehan sosial lebih dibutuhkan daripada kesalehan personal.

Cermin dari upaya perwujudan kesalehan sosial itu harus tampak secara jernih dalam platform, visi dan program yang ditawarkan oleh setiap orang yang akan bertarung dalam medan kontestasi politik.

Jujur saja, angin segar gagasan itu, berhembus hari ini, Rabu, 09 Agustus 2017, 6 bulan setelah ikrar setia Partai Nasdem dan Ridwan Kamil, beserta ketebelece isu pemanis berikut isu pahit yang mengiringinya.

Tanpa menyebut personalia yang akan diusung, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golongan Karya (Golkar) bersepakat untuk menjaga tensi politik agar tidak memecah belah umat dan bangsa sebagaimana pernah terjadi dalam perhelatan Pilkada Jakarta.

Paling tidak, terdapat beberapa agenda bersama yang akan diwujudkan bukan hanya dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat saja, melainkan juga seluruh agenda Pilkada Bupati/Walikota di seluruh Jawa Barat.

Agenda yang disepakati ini disampaikan dalam Konferensi Pers di Kantor DPD PDIP Jawa Barat, Jalan Pelajar Pejuang No 45, Kota Bandung, oleh Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi.

Pertama, Ketahanan Pangan di Jawa Barat, terus terang saja, agenda ini urgent, Jawa Barat terutama wilayah Indramayu dan Karawang merupakan lumbung padi nasional. Ironisnya, surplus beras nyaris tidak bisa dirasakan oleh masyarakat sekitar. Banyak terkisah orang yang berprofesi sebagai petani tetapi masih harus susah payah membeli beras.

Kedua, Ketahanan Culture atau Kebudayaan. Ini penting karena secara holistic dapat menjadi upaya fortifikasi dari hantaman budaya impor dengan segenap kemasan hedonitas yang disajikan. Meski harus diakui, langkah seperti ini sama sekali tidak populer. Tetapi merupakan hal yang harus segera dilakukan hari ini.

Butuh kemasan populer seperti sosial media untuk melakukan kampanye besar-besaran tentang Revolusi Kebudayaan di Jawa Barat. Agar bukan hanya masyarakat adat yang menjadi corong utama, melainkan juga amplifikasi isu ini harus menyentuh masyarakat perkotaan.

Ketiga, Ketahanan Ekonomi, ini merupakan muara dari poin pertama dan kedua. Puncak semuanya adalah kemandirian dan ketahanan ekonomi, sebuah kondisi masyarakat Jawa Barat yang mampu berproduksi bukan sekedar mengkonsumsi produk yang bukan buatannya.

'Alaa Kulli Haal, masihkah kita silau dengan figur-figur hasil produk konsultan politik dan public relation? Ataukah kita ingin berubah dengan mengupas gagasan yang berkembang dalam setiap suksesi politik? Tinggal pilih, maka jadilah kita, Jawa Barat yang sejati.

Oleh : Farid Farhan