Jakarta . - Air mata keluarga bayi 4 bulan Tiara Debora Simanjorang yang meninggal akibat terlambat mendapatkan pertolongan menambah panjang catatan kedukaan peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Tanah Air.

Kasus serupa seperti terus saja terulang meski evaluasi sudah dilakukan.
Hasil gambar untuk BPJS
Tarik ulur, saling salah-menyalahkan, hingga pernah juga saling seret ke ranah hukum kerap kali terjadi. Namun, hal itu tak juga mengembalikan sang korban sebagaimana sedia kala.

Debora memang tak sendiri. Sebelum kasusnya mengemuka, ada begitu banyak mereka yang sakit tetapi terlambat mendapatkan pertolongan karena berbagai sebab yang lebih sering lantaran tidak adanya komunikasi yang baik antara keluarga pasien dan pihak rumah sakit.

Kasus pasien miskin dan rumah sakit pun kemudian akan terus mengemuka jika negara tidak melakukan intervensi serius terkait dengan standar layanan bagi pasien tanpa memandang status sosial.

Padahal, layanan kesehatan tanpa diskriminasi sebenarnya telah dilindungi Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit telah secara spesifik mengatur ketentuan bahwa rumah sakit harus menangani pasien gawat darurat tanpa mempertimbangkan faktor biaya. Ketentuan itu terdapat di dalam Pasal 29 Ayat (1) Butir (f).

Namun, kemudian persoalan tidak selamanya harus ditimpakan pada jawatan kesehatan semata ketika kasus-kasus yang tidak diinginkan muncul.

Pemerhati masalah sosial dan kemasyarakatan Jappy M. Pellokilla mengatakan bahwa akar persoalan yang paling substansi harus ditemukan sebagai bahan perbaikan bagi persoalan serupa ke depan.

Menurut dia, sebaiknya tidak menimpakan kesalahan pada satu per satu pihak, tetapi masing-masing pihak memperbaiki diri dan layanan yang diberikan, termasuk BPJS sebagai representasi kehadiran negara dalam persoalan tersebut.

Citra BPJS sebagai fasilitas kesehatan masyarakat kelas bawah pun sudah saatnya diakhiri, kata pendiri Gerakan Damai Nusantara itu.
    
Perbaiki Citra

Meski tak dapat dielakkan bahwa BPJS sejatinya merupakan bentuk solidaritas institusional sebagaimana UU No. 40/2004 dan UU No. 24/2011 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

BPJS diharapkan menjadi instrumen keadilan sosial, termasuk subsidi silang dan gotong royong antarlapisan masyarakat tanpa kecuali di bidang kesehatan.

Sayangnya, citra masyarakat kelas bawah menjadi makin lekat pada BPJS sehingga ada kesan untuk enggan memberikan pelayanan optimal kepada para pesertanya.

Peminat Humaniora dari Chiba University, Jepang, Destika Cahyana, mengatakan bahwa di Indonesia konsep layanan BPJS masih melekat dengan citra sebagai fasilitas masyarakat kelas bawah.

Padahal, bagi masyarakat ekonomi kelas atas, status sosial menjadi citra sosial mereka sehingga mereka akan membayar berapa pun mahalnya biaya untuk membangun gambaran sosial tersebut.

Sementara itu, BPJS Kesehatan menghadirkan gambaran pengobatan kelas menengah ke bawah yang salah satunya ditunjukkan dengan antrean yang panjang ketika melakukan pengobatan.

Akibat yang kemudian muncul di rumah sakit kerap ada pembatasan kuota pasien BPJS Kesehatan, terutama di rumah sakit tertentu, hingga masih adanya rumah sakit swasta yang tidak menerima pasien BPJS Kesehatan.

Padahal, menurut Destika yang juga Ketua Bidang OKK di DPP GEMA Mathla`ul Anwar itu rumah sakit baik umum maupun swasta harus memberikan arahan kepada petugas terdepan yang melayani pasien bahwa menurut UU No. 36/2009 tentang Kesehatan Pasal 32 Ayat (2) disebutkan bahwa dalam keadaan darurat fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, dilarang menolak pasian dan/atau meminta uang muka.

Petugas terdepan juga jangan takut melawan manajemen karena dilindungi undang-undang, katanya.
    
Keadilan Sosial

Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia Marius Wijayarta mengatakan kepada wartawan beberapa waktu lalu bahwa banyak insiden, termasuk kasus bayi Deborah, yang menjadi bukti dan kembali fakta bahwa masih banyak rumah sakit swasta tidak mau atau masih enggan bekerja sama dengan BPJS.

Hal ini, menurut dia, salah satunya diakibatkan karena sistem penghitungan biaya BPJS dianggap tidak dapat menutupi beban rumah sakit, khususnya rumah sakit swasta.

Diharapakan citra BPJS dapat diperbaiki seiring dengan platform dan layanannya yang kian sempurna.

Semua pihak berharap program BPJS Kesehatan dapat dan idealnya diikuti dengan peraturan perundangan yang ketat dan mengikat. Selain itu, pemerintah yang harus senantiasa memberi fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Maka, sosialisasi yang bekelanjutan terkait dengan BPJS memang harus melibatkan tokoh masyarakat lintas sektoral yang mampu mengakses masyarakat di semua kalangan.

BPJS juga diharapkan mengakomodasi perbedaan kebutuhan antara masyarakat menengah ke atas dan menengah ke bawah meski tanpa harus menyamakan pelayanan kepada mereka.

Subsidi silang selalu terjadi karena yang membayar mahal mendapatkan layanan lebih baik sehingga dana bisa disubsidisilangkan kepada mereka yang kurang mampu.

Di samping itu, alokasi dana APBN untuk jaminan kesehatan masyarakat harus ditingkatkan seiring dengan waktu.

Jadi, meskipun BPJS belum menemukan format yang sempurna (terbukti dengan masih banyaknya keluhan dari masyarakat terkait layanan, sistem, monitoring, dan kecepatan), upaya perbaikan atas program itu akan menjadi sarana perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (ANT/BPJ).