Purwakarta.-Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mendapat tantangan dari para Kiai Nahdhatul Ulama dalam kegiatan Halaqah Kebangsaan di Pesantren As-Sa`adah, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Hasil gambar untuk Dedi Mulyadi Dapat Tantangan Kiai Garut
"Sesuai dengan pemaparan bapak (Dedi Mulyadi), karena kehilangan akses terhadap ekonomi dalam hal ini mata pencaharian, orang kemudian bisa berubah menjadi radikal dan intoleran karena tekanan psikologi. Bagaimana mengembalikan akses ekonomi itu?," kata Kiai Anwar dari Wanaraja, Garut, Minggu.

Tantangan tersebut muncul setelah Dedi menyatakan kalau akar dari paham radikalisme dan intoleransi adalah tercabutnya masyarakat dari akar Islam kultur yang telah diajarkan para pendahulu. 

Di antara kultur yang kini hilang ialah kultur mata pencaharian di pedesaan yang berbasis pertanian dan kehutanan. Tetapi karena perubahan gaya hidup, mata pencaharian tersebut berubah dari kultur produksi menjadi konsumsi. 

Para kiai yang merupakan pengurus Majelis Wakil Cabang PCNU Garut itu kemudian bertanya kepada Dedi mengenai teknis kebijakan yang bisa dilakukan dalam rangka pengembalian kultur tersebut.

Mendapat pertanyaan itu, Dedi mengatakan, Purwakarta memiliki sebuah kampung bernama "Kampung Tajur Kahuripan" yang terletak di wilayah Kecamatan Bojong. 

Kampung ini memiliki karakteristik kesundaan dengan desain rumah panggung "julang ngapak", lengkap dengan sumber mata pencaharian masyarakatnya yang fokus di bidang pertanian dan kehutanan. 

Masyarakat di daerah itu, selain mendapatkan sumber ekonomi dari pertanian, juga menjaga hutan. Hutannya ditanami, bukan justru dibabat habis. Masyarakat kota kemudian datang ke daerah itu.

"Mereka diajarkan bertani dan menginap di rumah-rumah warga. Ini sumber pendapatan bidang pariwisata, masyarakat juga hidup dari sana. Itu menjadi sumber pendapat ekonomi warga," katanya.

Supaya kondisi hutan tetap terjaga, Dedi mengusulkan agar warga yang tinggal di sekitar kawasan hutan menjadi Tenaga Harian Lepas (THL) oleh pemerintah. 

Mereka bertugas menanam dan merawat tanaman yang berada di kawasan hutan, sehingga mereka tidak merambah hasil hutan.

"Warga sekitar itu digaji oleh pemerintah, karena diangkat menjadi Tenaga Harian Lepas. Sehingga hutan tetap terpelihara," kata dia.