Jakarta . - Sidang paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR, Taufik Kurniawan, menyetujui RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) untuk disahkan menjadi UU di Jakarta, Rabu.

RUU itu disahkan setelah melalui pembahasan yang cukup lama dan merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang sudah berlaku selama lebih kurang 13 tahun dan bagian dari sistem ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

"RUU ini lahir sebagai bagian dari upaya memperbaiki tata kelola migrasi dan pelindungan kepada pekerja migran indonesia yang berbeda dari pengaturan sebelumnya dan telah diharmonisasi dengan peraturan perundang-undangan terkait," ujar Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, usai pengesahan RUU itu.

RUU PPMI itu telah diharmonisasi dengan UU Nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik, UU Nomor 6/2012 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya dan UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Dhakiri memaparkan ada tujuh substansi penting dalam RUU yang terdiri dari XIII bab dan 91 pasal itu, pertama adalah pembedaan secara tegas antara pekerja migran Indonesia dengan warga negara Indonesia yang melakukan kegiatan di luar negeri yang tidak termasuk sebagai pekerja migran Indonesia.

Kedua, jaminan sosial bagi pekerja migran Indonesia dan keluarganya diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Ketiga, pembagian tugas yang jelas antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan dalam penyelenggaraan perlindungan pekerja migran Indonesia mulai dari sebelum bekerja, selama bekerja dan setelah bekerja. 

Sedangkan substansi keempat, pembagian tugas dan tanggung jawab secara tegas antara pemerintah pusat dan Daerah dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia dan keluarganya secara terintegrasi dan terkoordinasi.

Kelima, pelaksana penempatan pekerja migran Indonesia ke luar negeri tugas dan tanggung jawabnya dibatasi dengan tidak mengurangi tanggung jawab pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada pekerja migran Indonesia.


Keenam, pelayanan penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara terkoordinasi dan terintegrasi melalui Layanan Terpadu Satu Atap.

"LTSA ini untuk efisiensi dan transparansi dalam pengurusan dokumen, efektivitas penyelenggaraan pelayanan penempatan dan perlindungan dan meningkatkan kualitas pelayanan pekerja migran Indonesia," katanya.

Sedangkan substansi ketujuh adalah pengaturan sanksi yang diberikan kepada orang perseorangan, pekerja migran Indonesia, korporasi dan ASN sebagai penyelenggara pelayanan perlindungan pekerja migran Indonesia lebih berat dan lebih tegas dibandingkan sanksi yang diatur dalam ketentuan UU Nomor 39/2004.

Dhakiri mengatakan, tantangan ke depan terhadap tata kelola penempatan pekerja migran Indonesia harus mengedepankan aspek perlindungan untuk mengakomodasi pergerakan migrasi yang dinamis. 

Pemerintah, dia bilang, ingin TKI yang bekerja ke luar negeri semakin banyak berorientasi kepada mereka yang terampil dan kompeten serta tidak lagi bekerja di sektor informal.

"Karenanya diperlukan pengaturan yang memberikan kepastian jaminan pelindungan dan pelayanan mulai dari sebelum bekerja, selama bekerja, maupun setelah bekerja. Hal ini sebagai upaya mencegah migrasi nonprosedural dan perdagangan orang," kata Dhakiri.