Jakarta - KPK menetapkan mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait izin pertambangan. Dia diduga memperkaya diri sendiri dan menyalahgunakan kewenangan sehingga menyebabkan kerugian keuangan negara.

"Menetapkan ASW (Aswad Sulaiman) sebagai tersangka," ucap Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (3/10/2017).

Saut menyebut tindak pidana korupsi yang dilakukan Aswad berkaitan dengan izin eksplorasi, izin usaha pertambangan, dan izin operasi produksi di Konawe Utara. Tindak pidana yang disangkakan pada Aswad diduga berlangsung pada 2007 sampai 2009. Korupsi itu disebut KPK ketika posisi Aswad sebagai Penjabat Konawe Utara.

"ASW diduga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi, melawan hukum, yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan," ucap Saut.

Atas perbuatannya, Aswad disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.


KPK menetapkan mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman sebagai tersangka. Aswad disangka melakukan korupsi dalam pemberian izin terkait pertambangan nikel selama menjabat bupati.

KPK menyebut indikasi kerugian keuangan negara dari korupsi itu diduga mencapai Rp 2,7 triliun. Angka itu lebih besar dari angka dugaan kerugian keuangan negara, yaitu Rp 2,3 triliun.

"Hari ini kami sampaikan perkembangan salah satu penanganan perkara dengan indikasi kerugian keuangan negara yang cukup besar dan sebanding dengan kasus lain yang pernah ditangani KPK, seperti KTP elektronik Rp 2,3 triliun dan BLBI Rp 3,7 triliun," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (3/10/2017).


Kasus korupsi itu, disebut Saut, berkaitan dengan pemberian izin pertambangan eksplorasi dan eksploitasi serta izin usaha pertambangan operasi produksi dari Pemerintah Kabupaten Konawe Utara pada 2007-2014. Dari pemberian izin itu, Aswad disebut menerima uang dari perusahaan-perusahaan yang mendapatkan izin.

"Tersangka ASW pun diduga menerima sejumlah uang dari masing-masing perusahaan," kata Saut.

Saut menyebut Aswad diduga menerima Rp 13 miliar dari perusahaan-perusahaan itu. Aswad disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.


Hasil gambar untuk kpkDari seluruh izin yang telah diterbitkan itu, Saut mengatakan beberapa di antaranya telah sampai tahap produksi hingga diekspor. Perbuatan itu berlangsung hingga 2014.

Atas perbuatannya, Aswad disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Korupsi itu disebut KPK dilakukan ketika posisi Aswad sebagai penjabat Bupati Konawe Utara.

Tentang nilai kerugian negara yang lebih besar dari e-KTP pernah disampaikan Ketua KPK Agus Rahardjo, pada Rabu (15/3), Agus menyebut kasus itu tidak menjerat pelaku dengan nama besar, tapi angkanya lebih besar daripada kasus e-KTP.


"Contoh paling sederhana, (kasus e-KTP dengan kerugian keuangan negara) Rp 2,3 triliun itu salah satu kasus yang sekarang baru ramai. Tapi yang lebih besar dari itu juga masih ada," ucap Agus saat itu.

"Bukan (kasusnya) besar, duitnya yang besar. Ada yang kerugian indikasinya lebih besar, tapi kalau pelakunya tidak sebesar yang hari ini (e-KTP)," Agus menambahkan. 

Sumber: Detik