Jakarta.-Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, mengapresiasi pertemuan antara Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dengan Ketua DPR, Setya Novanto, di Rumah Tahanan KPK, karena MKD DPR harus mengungkap motif politik dari kasus yang menjerat Novanto tersebut.

"Pertemuan itu tentu akan bermakna untuk mengetahui pandangan dari Pak Novanto tentang apa yang dia hadapi dan MKD perlu mendalami soal-soal lain," kata Hamzah, di Jakarta, Kamis.

Dia mengatakan, MKD DPR adalah lembaga yang melihat persoalan tidak hanya dari perspektif hukum yang belum selesai tapi juga perspektif etika.

Dia mencontohkan, apakah Novanto mendapatkan tekanan-tekanan dan negosiasi oleh elite politik atau penegak hukum tertentu sehingga itu perlu didalami. "Karena kasus Pak Novanto ini kental politiknya kalau hukumnya, sekali lagi saya melihatnya tidak terlalu kuat," ujarnya.

Dia menilai, dari perspektif hukum, kasus Novanto tidak terlalu kuat karena konstruksinya lemah dan sudah terbukti dibebaskan oleh putusan praperadilan yang lalu dan kemungkinan akan bebas di praperadilan yang akan datang.

Hamzah justru menilai, kasus Novanto kental nuansa politiknya sehingga itu yang justru harus terungkap dan MKD DPR dalam hal ini harus mengungkap motif politik di balik kasus ini.

Sebelumnya, pimpinan dan anggota MKD DPR tiba di Gedung KPK, sekitar pukul 10.20 WIB Kamis (30/11).

Mereka yang mendatangi KPK adalah Ketua MKD DPR, Sufmi Ahmad dari Fraksi Gerindra, Wakil Ketua MKD DPR, Sarifuddin Sudding dari Fraksi Hanura, serta dua anggota MKD DPR, Maman Imanul dari Fraksi PKB, dan Agung Widyantoro dari Fraksi Golkar, serta seorang staf MKD DPR.

Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta penundaan sidang perdana permohonan praperadilan yang diajukan Ketua DPR RI Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selama tiga pekan.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Hakim Tunggal Kusno membacakan surat permintaan penundaan sidang praperadilan dari KPK itu.

"Tadi saya menerima surat dari termohon tertanggal 28 November 2017, saya terima dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor surat nomor B887/HK.07.00/55/11/2017. Hal permintaan penundaan persidangan perkara praperadilan nomor 133/Pid.Prap/2017/PN.JKT.SEL," kata Hakim Kusno saat membacakan surat itu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis.

Hakim Kusno mengatakan KPK selaku termohon praperadilan tidak dapat hadir dan memohon untuk menunda sidang atas perkara dimaksud karena mempersiapkan bukti-bukti surat dan surat-surat administrasi serta melakukan koordinasi dengan pihak terkait.

"Untuk itu, kami mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan cq Hakim Praperadilan dalam perkara nomor 133/Pid.Prap/2017/PN.JKT.SEL dapat menunda persidangan praperadilan minimal tiga minggu ke depan," kata Kusno membacakan surat itu.

Surat tersebut ditembuskan kepada pimpinan KPK, Sekretaris Jenderal KPK, Deputi Penindakan, dan Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) serta ditandatangani oleh Kepala Biro Hukum KPK Setiadi.

Setya Novanto ditetapkan kembali menjadi tersangka kasus korupsi KTP-e pada Jumat (10/11).

Setya Novanto selaku anggota DPR RI periode 2009-2014 bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudihardjono, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri dan Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitment (PPK) Dirjen Dukcapil Kemendagri dan kawan-kawan diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan sehingga diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara atas perekonomian negara sekurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam pengadaan paket penerapan KTP-e 2011-2012 Kemendagri.

Setya Novanto disangkakan pasal 2 ayat 1 subsider pasal 3 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atas nama tersangka.

Sebelumnya, Setya Novanto juga pernah ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus proyek KPK-e pada 17 Juli 2017.

Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Hakim Tunggal Cepi Iskandar pada 29 September 2017 mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto sehingga menyatakan bahwa penetapannya sebagai tersangka tidak sesuai prosedur.

Sumber:Antara