Karawang.- Aturan main tentang batas pencalonan presiden dan wakil presiden telah diamini oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Para bakal capres dan bakal cawapres yang ingin maju di Pilpres 2019 harus memenuhi syarat dukungan 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara sah nasional.


Aturan itu tertuang dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum. Partai Demokrat, Gerindra, PKS dan PAN menolak beleid tersebut. Sebab, Pemilu 2019 nanti dilakukan serentak antara legislatif dan pemilihan presiden, sehingga tak relevan lagi menggunakan hasil Pemilu 2014 untuk pencalonan presiden di 2019.

Bahkan Demokrat dan Gerindra walkout saat pengesahan UU Pemilu di paripurna DPR beberapa waktu lalu. Sejumlah partai seperti PSI, Partai Idaman, Yusril Ihza Mahendra, Effendi Ghazali dan Habiburokhman menggugat aturan itu ke MK. Tapi sayang, MK tak menerima gugatan itu. Dengan alasan, presiden yang berkuasa butuh dukungan partai di parlemen.

Dua tahun jelang pilpres, sejumlah partai telah menyatakan diri mendukung incumbent Joko Widodo (Jokowi) di Pilpres 2019. Mereka adalah Golkar, NasDem, Hanura dan PPP. Ditambah PDIP yang hampir dipastikan dukung kadernya Jokowi.

Dari dukungan ini, total Jokowi telah mengantongi tiket Pilpres 2019. Sebab jika ditotal, Jokowi telah mengantongi 52,21 persen. Dengan rincian, PDIP (18,95%), Golkar (14,75%), PPP (6,53%), NasDem (6,72%), Hanura (5,26%).

Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Amir Syamsuddin memprediksi, merujuk hasil putusan MK itu, bahwa kandidat capres dan cawapres di 2019 hanya akan ada maksimal tiga pasang. Sayang, Amir tak mau mengunkap, ke mana arah koalisi Demokrat jika dengan aturan PT 20 persen. Menurut dia, belum saatnya strategi Pemilu 2019 dibahas saat ini.

"Saya melihat bahwa maksimal ada tiga pasang calon dan walaupun kemungkinan besar hanya dua pasang," kata Amir, Kamis (11/1).

Amir tak mau menyebutkan nama-nama bakal capres dan cawapres yang diprediksi maju pada Pemilu 2019. Namun berdasarkan hasil sejumlah survei elektabilitas capres, hanya dua kandidat kuat yang masuk bursa. Dia adalah incumbent Joko Widodo dan Ketum Gerindra Prabowo Subianto.

Meskipun sejumlah kader Gerindra sudah sepakat ingin memajukan sang ketum, tapi aspirasi itu belum dijawab oleh Prabowo. Rencananya, Gerindra baru akan menagih hal itu kepada Prabowo awal tahun 2018 ini. Namun Prabowo tak semudah Jokowi, sebab tiket pilpres belum dikantongi. Sebab Gerindra hanya memiliki 11,81 persen, kurang 6 persen suara nasional untuk bisa mendapatkan tiket pencalonan.

Demokrat, PKS, PAN dan PKB yang belum menentukan arah koalisi. Tapi, Demokrat telah menyiapkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan PKB memajukan nama ketumnya Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai calon wakil presiden. Sejumlah desakan telah menyeruak kepada AHY dan Cak Imin.

Senada dengan Amir Syamsuddin, Ketua DPP Golkar Zainudin Amali, peta koalisi cenderung mulai terlihat di DPR atau Pilkada 2018 merujuk hasil putusan MK itu. Menurutnya, Pilpres 2019 hanya akan diikuti oleh maksimal 3 pasangan calon karena ambang batas presiden tetap 20 persen.

"Hanya ada dua pasangan. Yang muncul paling banyak tiga, tapi probabilitas dua (calon). Kalau kita lihat dari pengelompokan koalisi yang ada," jelas Zainudin.

Jika melihat di Pilkada 2018 dan DPR, kecocokan telah terlihat antara Gerindra, PKS dan PAN. Dalam beberapa Pilkada, keduanya kompak untuk mengusung calon yang sama. Misalnya di provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Jika mereka kompak majukan Prabowo, maka total suara yang diperoleh koalisi ini yakni 26,19 persen.

Tapi sayang PKS dan PAN saat ini sama-sama ingin memajukan kadernya di Pilpres 2019. PKS misalnya membidik Sohibul Iman dan Ahmad Heryawan, sementara PAN ingin memajukan sang ketua umum Zulkifli Hasan.

Menanggapi putusan MK, pengamat politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio mengaku kecewa. Namun, dia tetap berharap putusan MK tak menghalangi calon presiden di luar Jokowi untuk ikut bertarung.

Hendri memprediksi hanya akan ada dua capres dengan aturan ini. Menurut dia, PKS, Gerindra dan PAN akan bersatu. Sementara PKB dan Demokrat diyakini akan merapat ke kubu Jokowi.

"Dengan PT 20% sebetulnya bisa 3 calon, tapi nampaknya akan 2 calon. PKB dan Demokrat besar kemungkinan akan di kubu Jokowi," kata hendri.

Di samping itu, dia merasa Prabowo tak akan ikut bertarung. Melainkan menjadi king maker di Pilpres 2019. Sayang, dia belum mau menyebut capres lain pengganti Prabowo jika mantan Danjen Kopassus itu tak ikut pemilu.

"Prabowo akan terlibat di 2019, tapi saya memprediksi perannya berbeda dengan peran dia di 2014, Prabowo akan mengambil peran mendorong tokoh lain, dia king maker aja," sebutnya.