Jakarta. - Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Eko Putro Sandjojo menerapkan strategi khusus untuk mengawasi pengelolaan dan penggunaan dana desa.

Menteri Eko dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat, menyatakan komitmennya untuk mengawal dan mengawasi penggunaan dana desa hingga tahap pemanfaatannya.

"Untuk itu kami gunakan strategi khusus untuk memastikan dana desa benar-benar diperuntukkan pemberdayaan potensi ekonomi desa," kata Eko.

Strategi yang dimaksud yakni dengan menekankan pengawasan pada dua hal, katanya, yakni menekan celah potensi penyalahgunaan dana desa dan meningkatkan kualitas para pendamping desa.

"Kedua hal ini memang sempat menjadi sorotan publik lantaran mencuatnya sejumlah kasus penyimpangan yang terjadi di sejumlah daerah, beberapa waktu lalu. Apalagi berbagai penyimpangan tersebut tidak hanya melibatkan aparat desa, tapi juga pejabat daerah, bahkan penegak hukum," katanya.

Ia mengemukakan, sampai saat ini dana desa sudah mengucur ke sebagian besar desa.

Dalam tiga tahun terakhir tepatnya sejak 2015 alokasi dana desa terus menanjak signifikan dari Rp20,67 triliun atau sekitar Rp280,3 juta per desa pada 2015 hingga menjadi Rp60 triliun atau sekitar Rp800,4 juta per desa pada 2017.

Sedangkan pada 2018 ini jumlah dana desa sama dengan pada 2017, yakni Rp60 triliun.

Cukup jauh

Bersamaan dengan itu, program pemberdayaan potensi desa juga telah bergulir cukup jauh, bahkan sudah mengarah ke pembentukan badan usaha milik desa (BUMDes) yang berpayung hukum.

"Karena itu pengawasan menjadi hal yang secara terus-menerus harus ditingkatkan," ujar Eko sebelumnya.

Dalam hal pengawasan terhadap kemungkinan tindak penyalahgunaan dana desa, kata Eko, saat ini sudah ada nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Kemendes, Kemendagri, dan Kepolisian Republik Indonesia.

Sayangnya, untuk program dana desa 2018 yang menjangkau 74.958 desa, Polri memiliki kekurangan 20.673 personel Bhabinkamtibnas.

Selain kekurangan personel pelaku pengawas dana desa, infrastruktur penunjang kinerja kepolisian juga kurang. Terbukti hingga hari ini banyak daerah yang tidak memiliki pos polisi.

Data statistik kriminal BPS menunjukkan, pada 2014 hanya sekitar 10,6 persen desa atau kelurahan yang di wilayahnya terdapat pos polisi, termasuk polsek, polres, dan polda.

Menurut Eko, perihal penyalahgunaan dana desa lebih menjadi kewenangan aparat penegak hukum, baik Polri maupun KPK. Sedangkan Kemendes bersama-sama pemerintahan daerah lebih terfokus pada pengawasan agar program pemberdayaan potensi desa berjalan sesuai yang ditargetkan.

Dalam hal ini, pendamping desa memiliki peran sentral sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yakni Pendamping desa bertugas memfasilitasi dan mendampingi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.

Tenaga pendamping bukanlah pengelola proyek pembangunan di desa. Kerja Pendampingan desa difokuskan pada upaya memberdayakan masyarakat desa melalui proses belajar sosial.



Sumber : antara