PELITAKARAWANG.COM-.Palu sudah diketok. Mahkamah Agung (MA) memutuskan Dimas Kanjeng Taat Pribadi menjadi otak pembunuhan santrinya. Selain itu, publik juga digegerkan dengan tipu-tipu kemampuannya bisa menggandakan uang. 

Kasus bermula saat Dimas menyuruh orangnya untuk menghabisi nyawa Ismail Hidayah pada Januari 2015. Alasannya karena Ismail dinilai telah merugikan Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Komplotan itu lalu menyusun rencana agar pembunuhan mulus.

Ismail akhirnya dihabisi di Jalan Raya Paiton, Probolinggo pada 2 Februari 2015 menjelang malam. Setelah itu, jenazah Ismail dimakamkan di Desa Tegalsono, Probolinggo, di sebuah lubang makam yang sudah disiapkan sebelumnya.

"Suami saya sedang Salat Magrib, tiba-tiba dibunuh dan dibuang. Coba bayangkan saja, siapa yang akan terima kalau seperti ini ceritanya. Nyawa harus dibayar dengan nyawa dan ini bagi saya tidak adil," ucap istri Ismail, Bibi Rasenjam kala itu.

Tiga hari setelahnya, mayat tersebut ditemukan warga. Perlahan, kasus pembunuhan itu terungkap. Komplotan ini membuat geger dan membuka kedok Padepokan Dimas Kanjeng. Polisi menyeret semua pelaku, termasuk Dimas Kanjeng.

Pada 1 Agustus 2017, Pengadilan Negeri (PN) Kraksaan menjatuhkan hukuman 18 tahun penjara kepada Dimas Kanjeng. Hukuman itu jauh di bawah tuntutan jaksa yang meminta agar Dimas dihukum penjara seumur hidup.

"Hai majelis hakim, pembunuh kok divonis ringan, ada apa ini. Pembunuh kok hanya divonis 18 tahun penjara, mau di kemanakan keadilan ini!" teriak istri Ismail, Bibi Rasenjam, di depan ruang persidangan PN Kraksaan kala itu.

Bibi terus berteriak karena tidak terima putusan tersebut. Menurut dia lebih baik jadi pembunuh saja jika hukumannya ringan.

"Lebih baik jadi pembunuh saja, jika membunuh orang tidak bersalah hanya dijatuhi hukuman yang ringan," teriak Bibi.

Vonis itu dikuatkan Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya. Langkah terakhir ditempuh jaksa agar Dimas Kanjeng dihukum lebih berat. Tapi apa nyana, Mahkamah Agung (MA) bergeming.

"Tolak JPU dan Terdakwa," demikian lansir panitera MA dalam website MA, Senin (21/5/2018).

Perkara dengan nomor 104 K/PID/2018 diadili oleh ketua majelis hakim agung Andi Abu Ayyub Saleh dengan anggota Margono dan Wahidin. Dengan ditolaknya upaya hukum itu, maka Taat Pribadi tetap dihukum 18 tahun penjara.

Kasus pembunuhan itu juga mengungkap penipuan ala padepokan yang dikelola Dimas Kanjeng. Ia menipu jemaah bila ia bisa menggandakan uang. Ribuan jemaah pun berduyun-duyun mempercayainya. Tapi apa nyana, dalam sebuah ritual, lampu digelapkan dan ia mengambil uang dari balik bajunya yang telah disiapkan.

Salah satu tokoh yang dekat dengan Dimas Kanjeng, Marwah Daud Ibrahim juga ikut diperiksa polisi. Namun, Marwah menampik mengetahui lokasi penyimpanan mahar milik pengikut Dimas Kanjeng yang disebut-sebut mencapai Rp 1 triliun.

"Saya tidak tahu," kata Marwah Daud Ibrahim kala itu.

Saat digerebek aparat, empat koper yang berisi mata uang asing diamankan Polres Probolinggo. Ada 4 jenis mata uang asing dari 4 negara yang salah satunya mata uang USD. Namun seluruh uang USD itu apabila dirupiahkan menjadi Rp 31, 1 miliar. Namun sayangnya uang-uang itu palsu. 

Sementara itu untuk mata uang asing lainnya yakni Dong mata uang Vietnam, Won mata uang Korea Selatan dan Hrvatska mata uang Kroasia, masih akan dilakukan pengecekan keberadaannya, asli apa palsu.

Di kasus penipuan itu, akhirnya Dimas Kanjeng dihukum 3 tahun penjara yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya, 29 Januari 2018. Adapun anak buah Dimas Kanjeng, dihukum dengan pidana penjara beragam. Salah satunya adalah Mishal Budianto (50) yang dihukum 15 tahun penjara.

Sumber : detik.com