PELITAKARAWANG.COM -  Sebanyak 20 persen Biaya Operasional Sekolah (BOS) wajib terserap untuk pengadaan buku bacaan bagi siswa disetiap jenjang kelasnya. Buku yang dibeli atas biaya BOS tersebut juga harus terbitan perusahaan percetakan yang mengantongi izin dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). 

Sejumlah Kepala Sekolah (Kepsek) diwanti-wanti untuk inventarisir kecukupan buku yang dicover Pemerintah tersebut, dan mewaspadai tawaran jual beli buku ilegal di sekolah.

Pengawas Koorwilcambidik Kecamatan Telagasari, Ade Taryana S.pd mengatakan, saat rakoor di Hotel Akasha Karawang, Kepala Disdikpora Karawang mengaku menerima email dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyatakan bahwa beberapa oknum sekolah di Karawang, melakukan pungli jual beli buku. 

Usut punya usut, mayoritas yang melakukan jual beli buku pada siswa tersebut, adalah sekolah di wilayah perkotaan yang kemungkinan besar para orangtuanya inginkan satu anak bisa mendapat satu buku. Musababnya, BOS yang harus diserap 20 persen diantaranya untuk pengadaan buku, dimungkinkan tidak cukup. Kalau di kampung-kampung, sebut Ade, 1 buku digunakan 2 siswa tidak menjadi soal, karena memang ploting anggarannya kurang sementara siswanya agak banyak, tapi pola pikir di perkotaan lain, sehingga orangtua wali murid memilih membeli buku agar si anak bisa mendapatkan bukunya sendiri. 

"Katanya Kadisdikpora pernah mendapat email dari KPK soal adanya sekolah jual beli buku diluar sana BOS,  ternyata kemungkinan besar banyaknya di perkotaan, kecukupan 1 buku satu siswa, anggaran minim jadi 1 buku 2 siswa, di kota banyak siswa yang ingin punya sendiri," Katanya.

Lebih lanjut Ade menambahkan,  Pemerintah bisa saja menaikan anggaran persentasi Bos untuk pengadaan buku, namun akan mengurangi pada kegiatan lainnya. Untuk itu, Kepala Sekolah dimintanya bisa inventarisir kecukupan buku siswa tersebut optimal, dimana 20 persen diantaranya wajib diserap untuk buku. Bahkan, buku yang direkomendasikan juga tidak sembarangan, karena harus dikeluarkan atas seizin Kemendikbud dan rekomendasi Dinas, seperti Airlangga,  Grafindo dan Grafika misalnya. 

Maka, jika ada sekolah membeli buku dengan dana bos diluar percetakan resmi, bisa dikatakan ilegal dan ditolak laporan BOS nya. Untuk itu, sebut Ade, pihak sekolah harus hati-hati atas tawaran pihak-pihak ketiga yang menawarkan diri pengadaan buku pelanajaran untuk anak berjenjang kelas tersebut." Bukunya juga harus yang di beri izin menjual oleh Kemendikbud, jika ada yang tanpa rekomendasi Dinas, maka tidak boleh dibeli," ungkapnya.

Lebih jauh Ade menambahkan, seyogyanya memang buku itu sudah ada sejak awal masuk tahun ajaran, namun kenyataannya memang belum menyeluruh ada. Bahkan, sebelum Bos cair, Kepala Sekolah dilarang memberikan talangan untuk pengadaan buku 20 persen dari BOS tersebut. Biasanya, sambung Ade, beberapa perusahaan percetakan buku yang resmi datang ke Koorwilcambidik, memberikan tawaran baik harga dan isi sebagaimana kurikulum terupdate, selebihnya diserahkan kepada pihak sekolah masing-masing mau membeli buku dari biaya bos tersebut dari percetakan mana, dan pihak sekolah yang memasang langsung. " Percetakan biasanya datang ke Kecamatan, tawari itu, selebihnya pihak sekolah yang menentukan dan pemesanannya," Katanya.