PELITAKARAWANG.COM– Bencana kekeringan melanda di beberapa wilayah Indonesia, terutama Jawa dan Nusa Tenggara selama musim kemarau tahun 2018 ini. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, kemarau menyebabkan beberapa persoalan yang dialami masyarakat terutama di Pulau Jawa, NTB serta NTT.

Persoalan yang dialami antara lain pasokan air berkurang, debit sungai menurun, tinggi muka air di danau dan waduk menyusut. Lalu, sumur kering sehingga masyarakat mengalami kekurangan air dan sebagian pertanian puso.

"Sebagian masyarakat terpaksa harus membeli air bersih untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari. Petani juga mengeluarkan biaya tambahan Rp800 ribu rupiah untuk sewa pompa air dan membeli solar guna mengaliri sawahnya," ujar Sutopo dalam keterangan tertulisnya, Kamis 6 September 2018.

Berdasarkan data yang dihimpun BNPB, kekeringan melanda 11 provinsi. Rinciannya mencakup 111 kabupaten/kota, 888 kecamatan, dan 4.053 desa.

Kekeringan ini menyebabkan 4,87 juta jiwa terdampak. Masyarakat mengalami kekurangan air bersih sehingga harus mencari air ke sumber-sumber air di tempat lain. Bahkan, ada sebagian masyarakat harus membeli air bersih dan menggantungkan pada bantuan droping air bersih.

Untuk wilayah di Pulau Jawa yang mengalami kekeringan antara lain Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur. Kemudian, luar Jawa ada NTB, NTT, dan Lampung.

"Pendataan kekeringan di wilayah Bali masih dilakukan. Namun berdasarkan laporan BPBD, kekeringan tidak terlalu berdampak luas di Bali pada tahun ini," lanjut Sutopo.

Di Provinsi Jawa Barat, kekeringan terdapat di 22 kabupaten/kota yang meliputi 165 kecamatan, 761 desa, dan berdampak pada 1,13 juta penduduk mengalami kekerangan air bersih.

Di Jawa Tengah, sebanyak 854 ribu jiwa penduduk terdampak kekeringan yang terdapat di 28 kabupaten/kota, 208 kecamatan dan 1.416 desa. Sedangkan, di Provinsi Nusa Tenggara Barat, sebanyak 1.23 juta jiwa penduduk terdampak kekeringan yang berada di 9 kabupaten/kota, 74 kecamatan, dan 346 desa.

Selain itu, faktor bencana gempa yang beruntun dan merusak di Lombok telah menyebabkan dampak kekeringan meningkat di NTB. Salah satunya seperti jaringan pipa air bersih rusak sehingga menyebabkan pasokan air bersih berkurang.

"Masyarakat yang berada di pengungsian jauh dari sumber air yang sebelum terjadi gempa dipenuhi kebutuhan airnya dari PDAM, air sumur, jaringan distribusi air bersih dan lainnya," ujar Sutopo.

Sutopo menambahkan, saat ini di posko pengungsian di Lombok mengandalkan bantuan distribusi air dari mobil tangki air, bak penampungan air. Kemudian, bantuan sumur bor yang dibangun pemerintah. Namun, sebelum terjadi gempa, memang wilayah NTB sudah mengalami kekeringan dan krisis air .

"Dengan adanya bencana gempa, maka dampak kekeringan bagi penduduk menjadi lebih meningkat," katanya.

Begitu juga di Provinsi NTT, kekeringan berdampak pada sekitar 866 ribu penduduk yang tersebar di 22 kabupaten/kota, 254 kecamatan dan 896 desa. Sedangkan di Yogyakarta, kekeringan terdapat di 3 kabupaten/kota, 21 kecamatan, dan 25 desa yang menyebabkan sekitar 132 ribu penduduk terdampak.

Kemudian, Sutopo menuturkan, musim kemarau diprediksi berlangsung hingga September 2018, di mana puncak kekeringan berlangsung selama Agustus-September.

BMKG telah memprediksi bahwa awal musim hujan 2018/2018 akan terjadi pada Oktober-November-Desember 2018. Pada setiap wilayah berbeda-berbeda memasuki musim hujan. Sementara itu, puncak musim hujan 2018/2019 terjadi pada Januari-Februari 2019.

Untuk daerah-daerah yang mengalami kekeringan saat ini adalah daerah-daerah yang hampir setiap tahun terjadi kekeringan. Sutopo menyebut sejumlah wilayah di Jawa pernah defisit air pada 1995. Artinya ketersediaan air yang ada, baik air permukaan dan air tanah, sudah tidak mampu mencukupi kebutuhan penduduk.

"Apalagi jumlah penduduk terus meningkat, sementara ketersediaan air relatif tetap. Studi neraca air yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 1995 yang menunjukkan bahwa," sebutnya.

Namun, diperkirakan kekeringan pada tahun 2018, ini tidak banyak berpengaruh pada ketahanan pangan. Acuannya karena banyak pertanian yang mengalami puso secara luas sehingga berdampak pada produksi pangan secara nasional.

Sedangkan, upaya jangka panjang untuk mengatasi kekeringan terus dilakukan pemerintah melalui berbagai macam pembangunan, seperti pembangunan waduk atau bendungan, rehabilitasi hutan dan daerah aliran sungai, pembangunan jaringan air bersih.