PELITAKARAWANG.COM - Sekretariat Bersama Penanganan Dana Desa dinilai sudah sangat mendesak diwujudkan di daerah. Hal ini bakal menjadi salah satu strategi guna menekan berbagai persoalan dalam Dana Desa.

Tenaga Ahli Pengaduan dan Penanganan Masalah pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Tertinggal Dan Transmigrasi Republik Indonesia, Denny Septiviant mengungkapkan, penyimpangan penggunaan Dana Desa rawan terjadi karena terbatasnya jumlah tenaga pengawas.

“Jumlah tenaga pengawas tak sebanding dengan  wilayah desa di seluruh Indonesia yang kurang lebih mencapai 74 ribu desa,” ujar dia, dalam rilis yang diterim, Ahad (9/12).

Ia bahkan mengkhawatirkan rencana Pemerintah yang akan meningkatkan jumlah alokasi anggaran Dana Desa pada tahun 2019. Tanpa instrumen pengawasan yang memadai, bukan tidak mungkin praktik penyimpangan maupun penyelewengan dalam pemanfaatan Dana Desa bakal terus meningkat.

Hingga akhir 2017 sudah sedikitnya 900 kepala desa yang bermasalah dengan hukum karena penggunaan Dana Desa. Sebagian diantaranya terpaksa menghadapi pidana penjara akibat praktik penyimpangan Dana Desa.

Selain masih kurangnya tenaga pengawas, pemahaman perangkat desa terkait dengan sistem pelaporan yang sesuai dengan aturan juga menjadi penyebab terjadinya persoalan dalam pemanfaatan Dana Desa.

Dalam Evaluasi Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD) tingkat Jawa Tengah 2018 di Semarang –belum lama ini-- juga terungkap, separuh dari total 29 kabupaten penerima Dasa Desa juga bermasalah dalam pelaksanaannya.

Untuk penggunaan Dana Desa yang bermasalah temuan sementara sudah mencapai 220 kasus. Di mana korupsi merupakan temuan yang paling banyak terjadi selain untuk keperluan pribadi kepala desa.

“Misalnya pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai alias fiktif, mark upanggaran, tidak melibatkan masyarakat dalam musyawarah desa dan untuk kepentingan pribadi kepala desa,” kata Denny.

Ia juga menyebut, berbagai modus korupsi dana desa ini sesungguhnya dalam proses dilakukan antisipasi oleh stakeholder penegak hokum. Seperti perangkat Bhabinkamtibmas yang sudah mulai aktif melakukan pemantauan sejak mulai proses musyawarah desa.

Namun persoalan penyimpangan penggunaan Dana Desa masih terus ditemukan kasusnya. Oleh karena itu perlu strategi antar lembaga agar sinergisitas pengawasan Dana Desa dapat terwujud, misalnya melalui penggunaan aplikasi RAPBDes yang lebih sederhana.

Atau melalui dibentuknya Sekretariat Bersama Penanganan Masalah Dana Desa yang harus didukung unsur- unsur pemerintah dan kepolisian dan ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota masing- masing.

“Penting juga segera disiapkan ahli hukum untuk kebutuhan pendampingan dalam pelaksanan pencegahan, pengawasan dan penanganan permasalahan Dana Desa di daerah melalui APBD masing- masing,” tandasnya.

Masih terkait dengan akuntabilitas pemanfaatan Dana Desa di Jawa Tengah, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo meminta agar pengelolaan Dana Desa selalu melibatkan masyarakat sebagai upaya pemberdayaan melalui kemandirian perekonomian.

Selain melibatkan masyarakat, pengelolaan dan penggunaan Dana Desa juga harus akuntabel serta transparan. Sebagai praktik transparansi, masing- masing perangkat desa wajib menampilkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dalam bentuk banner yang mudah diakses warganya.

Seperti di Kantor Desa maupun pusat layanan desa yang banyak menjadi pusat kegiatan masyarakatnya. Selain pendapatan banner tersebut juga harus menampilkan pertanggungjawaban pengelolaan Dana Desa.

Sehingga, masyarakat (warga desa) bisa melihat, membaca dan selanjutnya tidak curiga. “Upaya ini sekaligus juga mencegah korupsi, tidak hanya dari administrasinya, tapi juga dalam rangka membangun integritas aparat desa,” ungkapnya.

Gubernur mengatakan, sebanyak 7.809 desa di Provinsi Jawa Tengah menerima kucuran Dana Desa sebesar Rp 6,74 triliun pada 2018. Sehingga masing- masing desa rata-rata menerima sekitar Rp 863 juta.

Selain alokasi dana desa yang berasal dari APBN tersebut, Pemprov Jawa Tengah pada 2018 juga mengalokasikan dana Rp 50 juta per desa atau meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 30 juta per desa.

“Anggaran yang besar ini harus dimanfaatkan sebaik- baiknya untuk meningkatkan daya saing desa dan kesejahteraan masyarakat desa dengan tata kelola yang transparan dan akuntabel,”  kata dia.#ROL