PELITAKARAWANG.COM - Dampak tumpahan minyak pasca bocornya sumur oil rig YYA-1 miliki Pertamina Hulu Energi Offshore Borth West Java (PHE-ONWJ) di 7 mil lepas Pantai Karawang, Juli 2019 lalu masih menyisakan persoalan.

Koalisi Masyarakat Sipil Karawang (KMSK) yang terus memantau perkembangnnya mengatakan, diperkirakan 54.670 hektare laut Karawang, 62,32 Hektare di zona perairan Karawang di 42 muara tercemar oleh minyak mentah tersebut. Demikina juga 5.870 hektare ekosistem terumbu karang terancam pertumbuhannya, dan terpaparnya 77.713 pohon Mangrove pada zona pasang surut.

“Koalisi Masyarakat Sipil Karawang (KMSK) terus memantau sejak 12 Juli 2019 atau hampir 3 bulan pasca bocornya sumur oil rig YYA-1 miliki Pertamina Hulu Energi Offshore Borth West Java (PHE-ONWJ) itu,” kata Koordinator KMSK, Yuda Febrian Silitonga, Senin (30/12/2019).

Bukan itu saja, lanjut pria yang akrab disapa Yuda itu, mengatakan, hampir semua masyarakat di pesisir juga mngaku mengalami penurunan kualitas hidup akibat tanah, air, dan udaranya tercemar oleh dampak tumpahan minyak.

“Kesimpulannya, 32% mengalami penurunan pendapatan, 22% penurunan kualitas kesehatan, dan 46% ekosistem terpapar tumpahan minyak,” ungkapnya.

Masih menurut Yuda, dampak tumpahan minyak kotor Pertamina Hulu Energi dari Sumur YYA-1 di Blok Offshore North West Java (ONWJ) itu termasuk peristiwa pencemaran lingkungan terbesar, terhebat, terparah dan terluas di lautan Indonesia sepanjang 2019.

“Apakah misteri penyebab utama pencemaran hebat dalam kurun waktu hampir 3 bulan yang melanda perairan laut di sekurangnya 3 provinsi (Jawa Barat, Jakarta dan Banten) itu akan benderang terungkap, apakah kejadian tersebut akan menjadi yang terakhir,” katanya mempertanyakan.

Yudha menambahkan, hingga saat ini tidak ada laporan terbuka dari Pertamina terkait penyebab, juga pemulihan yang telah dilakukan.

“Oleh karenanya, sebagai masyarakat, kita melakukan pemantauan secara independen. Tujuannya untuk mencegah peristiwa serupa terulang,” katanya.

Sevara terpisah, VP Relations PHE-ONWJ, Ifki Sukarya mengatakan, sejak kejadian, Pertamina telah berupaya keras menangani peristiwa tumpahan tersebut beserta dampaknya, baik dampak lingkungan, ekosistem maupun dampak sosial masyarakat.

“Fase penanggulangan telah kita lalui, di mana kita sudah berhasil menghentikan kebocoran atau sumber dampak itu pada 21 September 2019 lalu. Setelah itu PHE-ONWJ terus melakukan pembersihan, baik di laut maupun di darat agar dampaknya tidak terlalu berat,” jelasnya saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin (30/12/2019).

Dalam proses penanggulangan tersebut, ia pun mengakui ada beberapa daerah atau titik yang sulit diakses sehingga membuat PHE-ONWJ dalam penanggulangan tersebut pun tidak bisa 100%.

“Bukan berarti kita membiarkan, kita lakukan pemetaan dampak yang dibantu oleh konsultan akademis. Untuk ekosistem kita dibantu oleh IPB, untuk dampak di pesisir kita dibantu oleh ITB yang telah melakukan delineasi untuk mengetahui pantai mana yang rusak ringan, rusak sedang dan rusak berat, sehingga dalam masa pemulihan, PHE-ONWJ dapat menentukan suatu metode penanganan pada satu daerah terdampak, karena akan ada beberapa metode yang akan diterapkan dalam masa pemulihannya,” papar Ifki.(rd/isk)