PELITAKARAWANG.COM - Rencana pemerintah pusat memobilisasi nelayan pantai utara (pantura) Jawa melaut di Perairan Natuna, Kepulauan Riau tidak berjalan mulus. Selain belum jelasnya masalah ongkos dan pembiayaan logistik nelayan pantura melaut di Natuna, penolakan juga hadir dari nelayan setempat.

Ketua nelayan Desa Sepempang, Natuna, Hendri menyampaikan penolakan dikarenakan beberapa pertimbangan seperti. Salah satunya adalah nelayan pantura menggunakan alat tangkap cantrang.

"Alat tangkap cantrang dapat merusak ikan dan biota laut lainnya, sehingga akan merugikan nelayan itu sendiri," kata Hendri, Ahad (12/1).

Kemudian, kata Hendri, nelayan pantura menggunakan kapal yang lebih besar dan peralatan tangkap modern. Hal ini tentu membuat nelayan Natuna merasa tersaingi, karena armada mereka saat ini masih kecil dan peralatan tangkap yang ada sangat tradisional yaitu berupa pancing ulur.

"Kondisi ini juga akan menyebabkan nelayan lokal jauh tertinggal dan tersisih," imbuhnya.

Ketua nelayan Desa Batu Gajah, Natuna, Kurniawan Sindro Utomo meminta Pemkab Natuna maupun pemerintah pusat memberdayakan nelayan setempat daripada mendatangkan nelayan pantura. Menurut dia, nelayan juga mampu melaut hingga ke Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) asal didukung dengan kapal-kapal dan peralatan yang memadai.

"Pemerintah sebaiknya membantu nelayan Natuna dengan kapal di atas 50 GT, bukan malah mendatangkan nelayan pantura," tuturnya.

Nelayan Natuna lainnya, Khairul Anam, mengaku khawatir jika pemerintah tetap mendatangkan nelayan pantura ke Natuna, maka dapat menimbulkan gesekan antara kedua belah pihak nelayan.

"Konflik Indonesia dan China mulai mereda di laut Natuna. Jangan sampai nanti ada pula konflik lanjutan antara nelayan Natuna dan nelayan pantura," ucap Khairul.

Ketua Dewan Pengurus Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (DPC HNSI) Kota Tegal Riswanto mengatakan, pemerintah pusat harus berkoordinasi dengan berbagai pihak jika ingin mengerahkan nelayan dari luar agar menangkap ikan di Natuna. Pemerintah harus memperhatikan sikap nelayan di Natuna terhadap kedatangan nelayan-nelayan dari luar wilayah.

"Satu hal yang paling penting adalah terkait dengan sikap nelayan lokal itu sendiri di sana. Apakah dengan kedatangan nelayan panturake sana nanti akan menerima atau malah justru masalah," ujar Riswanto saat dihubungi, Ahad (12/1).

Sebab, kata dia, sikap nelayan lokal di Natuna penting untuk keberlangsungan antarnelayan saat melaut di Natuna sebagai upaya menjaga wilayah Indonesia dari nelayan asing. Dengan demikian, pemerintah seharusnya memfasilitasi koordinasi antara pemerintah daerah baik itu gubernur maupun bupati terkait penolakan nelayan lokal.

"Intinya visi misinya negara saat ini adalah bagaimana mengisi kekosongan laut Natuna yang kini jadi konflik," kata dia.

Menurut Riswanto, para nelayan pantura akan kembali datang ke Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) untuk pembahasan keberangkatan melaut di Natuna pada Senin (12/1). Pekan lalu, rencana keberangkatan nelayan ke Natuna dengan segala persiapannya belum final.

Riswanto mengatakan, berbagai persiapan juga perlu difasilitasi negara, diantaranya perizinan yang salah satunya untuk menghindari gesekan dengan nelayan lokal di Natuna. Selain itu, aturan mengenai ukuran kapal yang dapat berlayar ke Natuna.

Kemudian, ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) dengan harga subsidi bagi nelayan yang menjalankan misi meramaikan Laut Natuna. Sebab, kata Riswanto, kapal di atas 50 GT yang bisa melaut ke Natuna tidak mendapatkan harga BBM subsidi, melainkan harga untuk industri yang selisihnya sekitar Rp 3.000.

Padahal, menurut dia, setidaknya kapal berlayar ke Natuna membutuhkan BBM sebanyak 50 ton untuk operasional melaut selama dua sampai tiga bulan. Jika harga yang dipatok Rp 8.000, maka lebih dari Rp 400 juta yang harus dikeluarkan untuk kebutuhan BBM, belum termasuk bekal seperti makanan dan lain-lain.

Riswanto mengaku, meminta pemerintah memperhatikan kesiapan itu termasuk keamanan melaut di Natuna. Ia tak bisa meminta biaya operasional melaut ke Natuna ditanggung pemerintah.

Menurut dia, nelayan dapat mandiri mempersiapkan biaya menangkap ikan. Asal segala infrastruktur, aturan, perizinan, keamanan, dan sebagainya difasilitasi pemerintah, maka nelayan siap meramaikan Natuna agar kapal-kapal China tak menangkap hasil laut di perairan Natuna.

"Kalau nelayan Indonesia secara umum tidak se-modern nelayan asing. Nelayan asing itu menangkap ikan di perbatasan Natuna itu ternyata kan pakainya trol ditarik pakai dua kapal. Kita mah masih pakai pancing, kan lucu, seperti itu gambarannya ya. Kalau di sana sudah pakai pistol kita baru pakai bambu runcing atau pisau," tutur Riswanto.


Pemerintah memang serius dengan memobilisasi ratusan nelayan nusantara untuk menuju perairan Natuna, Kepulauan Riau. Rencana itu menyusul polemik keberadaan kapal-kapal China di ZEE Natuna.
“Program mengirim nelayan dari Jawa ini bukan baru pertama ini. Sudah dilakukan sebelumnya secara bertahap,” kata Sekretaris Kabinet Pramono di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Rabu (8/1) pekan lalu.

Pramono mengatakan, Laut Natuna sangat kaya dengan hasil ikan. Karena itu, pemerintah juga ingin agar Natuna digunakan sebagai homebase pusat pasar ikan ekspor Indonesia.

“Presiden meminta kepada menteri KKP, baik yang dulu maupun sekarang, agar Natuna itu digunakan sebagai homebase untuk pasar ikan Indonesia keluar,” ujarnya.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD bahkan mengklaim, sudah ada sekitar 470 nelayan yang mendaftar untuk diberangkatkan ke laut Natuna, Kepulauan Riau. Nelayan-nelayan dengan kapalnya dari Pulau Jawa ingin membuktikan bahwa Natuna milik Indonesia.

Ia mengatakan, jumlah itu belum termasuk nelayan dari Makassar, Maluku, Papua, dan daerah lain yang siap berlayar mencari ikan meramaikan perairan Natuna.

"Sudah ada 470 nelayan dengan kapalnya, mendaftar mau ke sana untuk meramaikan Natuna untuk membuktikan bahwa itu milik kita. Itu baru dari Jawa, daerah lain juga banyak yang sudah kontak," ujar Mahfud di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (8/1).#ROL