PELITAKARAWANG.COM - Penghapusan tenaga honorer di seluruh instansi pemerintah pusat dan daerah membuat cemas para pegawai honorer. Mereka dibayangi ketidakpastian kerja.

Adam Asshidiqi, seorang guru di Sekolah Dasar Negeri Lengkong Kecil, Bandung, merasa cemas. Pria 34 tahun itu menjadi tenaga honorer selama lima belas tahun. Hingga kini belum ada pertanda dirinya akan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Sejak kecil Adam bercita-cita menjadi PNS. Dia pun mengawali kariernya sebagai guru karena ingin berbakti kepada negara, meskipun hingga kini belum mendapat kepastian kapan akan diangkat menjadi PNS.

"Menjadi guru itu pekerjaan yang mulia walaupun seringkali dipandang rendah daripada jabatan yang lain, seseorang itu berdiri karena ada jasa guru di belakangnya," ucap Adam melalui sambungan telepon, Rabu (22/1).



Beberapa kali Adam sudah mengikuti tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) baik di tingkat kota maupun kabupaten. Namun usahanya belum membuahkan hasil.

Adam sempat ragu bisa lolos menjadi PNS melalui seleksi CPNS. Dia hanya memiliki waktu satu tahun lagi, karena batas usia maksimal menjadi PNS 35 tahun. Meski demikian, Adam tetap berusaha mewujudkan mimpinya.

"Selama masih memenuhi syarat, pasti berjuang dulu untuk PNS. Kalau sudah lewat baru ikut PPPK, itu pun jika isi perjanjian kerjanya jelas dan dapat dimengerti atau sesuai harapan," kata Adam.

Sejak 2019, pemerintah melakukan dua upaya sebelum status tenaga honorer dihapuskan, yaitu melalui seleksi calon pegawai negeri sipil dan tes Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Saat ini jumlah tenaga honorer yang ada di pusat dan daerah mencapai sekitar 300 ribu orang.

Selain Adam, Yandi, seorang tenaga honorer di Komisi Yudisial juga khawatir kehilangan pekerjaannya setelah pemerintah berencana menghapus tenaga honorer. Selama tujuh tahun, Yandi mengabdikan diri sebagai tenaga honorer dengan harapan diangkat menjadi PNS.



Yandi kecewa kepada pemerintah sebab tidak memberikan solusi yang jelas bagi pegawai honorer. Yandi juga tidak bisa menggunakan jalur seleksi CPNS karena usianya sudah lebih dari 35 tahun.

"Kalau memang tidak bisa menjadi PNS, ya sudah tidak apa-apa diangkat menjadi PPPK, kalau sudah diangkat menjadi PPPK setidaknya kita bisa tenang tiap menghadapi awal tahun," ujarnya saat dihubungi via telepon.



Yandi pun tidak siap bila nantinya ia dan istrinya yang juga seorang tenaga honorer akan diputus kontrak.

"Sudah pasti akan kehilangan pendapatan. Biaya hidup keluarga dan biaya anak sekolah bakal bikin pusing 7 keliling," kata Yandi.

Yandi berharap diangkat menjadi PPPK apabila rencana pemerintah menghapus honorer terealisasi.


Pemerintah dan DPR RI sepakat untuk menghapus perekrutan tenaga honorer di lingkungan pemerintahan mulai tahun ini. Tindakan ini dinilai sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, yakni UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Di dalamnya tertuang aturan bahwa tenaga kerja di instansi pemerintahan yaitu PNS dan PPPK.


Pelarangan perekrutan tenaga honorer juga telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018, pasal 96 yang terdiri atas 3 (tiga) ayat larangan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) mengangkat pegawai non-PNS serta non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN.

Tindakan ini menuai kritik di kalangan pekerja honorer. Terutama pegawai honorer yang telah diangkat sejak tahun 2005 berstatus Honorer K2.

Padahal pengangkatan honorer K2 menjadi PNS merupakan amanat PP Nomor 48 tahun 2005, PP Nomor 23 tahun 2007 dan PP Nomor 56 tahun 2012.

Ketua Forum Honorer Kategori 2 Indonesia (FHK2I) Titi Purwaningsih saat dihubungi pada Selasa, (21/1) mengatakan, pemerintah bertanggungjawab mengangkat 380 ribu honorer K2 yang tidak masuk penghapusan tersebut, atau setidaknya berharap ada win-win solution antara pemerintah dan para pekerja honorer.(cnnindonesia)