Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) mengeluarkan putusan keagamaan hasil musyawarah selama beberapa hari terakhir terkait konversi dan tarif zakat fitrah dengan uang. LBM PBNU menetapkan bahwa masyarakat dapat membayarkan zakat fitrah dengan uang sebagai konversi zakat fitrah dari beras atau serealia. (19/5/2020).

LBM PBNU menetapkan tarif zakat fitrah dengan uang disesuaikan dengan tarif zakat fitrah dengan beras atau seralia. 

Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) mengeluarkan rekomendasi sebagai berikut:   Yang terbaik dalam menunaikan zakat fitrah adalah pembayaran dengan beras. 

Adapun satu sha’ versi Imam Nawawi adalah bobot seberat 2,7 kg atau 3,5 liter. Sedangkan ulama lain mengatakan, satu sha’ seberat 2,5 kg. 

Masyarakat diperbolehkan pula membayar zakat fitrah dengan menggunakan uang sesuai harga beras 2,7 kg atau 3,5 liter atau 2,5 kg sesuai kualitas beras layak konsumsi oleh masyarakat setempat. 

Segenap panitia zakat yang ada di masyarakat baik di mushalla maupun di masjid dianjurkan untuk berkoordinasi dengan LAZISNU terdekat. 

Konversi pembayaran zakat fitrah dari serealia pangan utama (beras) kepada pembayaran berupa uang didasarkan pada mazhab Hanafi. 

Sedangkan penetapan tarif zakat fitrah dengan uang yang mengikuti takaran zakat fitrah dengan beras didasarkan pada pandangan Ibnu Qasim dari mazhab Maliki. “Pada prinsipnya ulama arus utama mazhab Syafi’i tidak memperbolehkan zakat fitrah dengan qimah (nominal uang). Tetapi untuk memudahkan masyarakat, kita mengikuti pandangan ulama yang membolehkan pembayaran zakat dengan qimah,” kata Wakil Sekretaris LBM PBNU KH Mahbub Ma‘afi Ramdhan. 

LBM PBNU juga mengutip pandangan Syekh M Nawawi Banten perihal konversi zakat fitrah dan penetapan tarifnya dalam Kitab Ats-Timarul Yani‘ah fir Riyadil Badi‘ah. “Soal perpindahan dari satu ke  lain mazhab–meski tidak secara keseluruhan satu rangkaian ibadah–, ulama memiliki tiga pendapat mengenai hukumnya." 

“Soal konversi dan tarif kita mengikuti pandangan sejumlah ulama mazhab Maliki, salah satunya Ibnu Qasim yang membolehkan pakai qimah. Sebagaimana kita tahu, ukuran sha’ mazhab Maliki memiliki ukuran serupa dengan ukuran sha’ mazhab Syafi’i,” kata Kiai Mahbub.  

KH Asnawi Ridwan dari LBM PBNU mengatakan, dalam mazhab Hanafi yang membolehkan zakat fitrah dengan uang, mereka yang terkena kewajiban zakat fitrah adalah mereka yang memiliki harta satu nishab. “Jika kita ikut total kepada Hanafiyah, maka tidak akan ada yang berzakat fitrah kecuali hanya beberapa orang saja,” kata Kiai Asnawi. 

KH Azizi Chasbullah mengatakan bahwa yang perlu disadari dalam ukuran zakat adalah sha’ Rasulullah, bukan ukuran sha’ versi kita. Ukuran sha’ Rasulullah merupaka riwayat, bukan ijtihad.  

Rais Syuriyah PBNU KH Afifuddin Muhajir menambahkan bahwa perbedaan pendapat ulama perihal jenis dan tarif zakat fitrah memiliki alasan yang sama, yaitu maksud tujuan zakat fitrah adalah memenuhi/mencukupi kebutuhan fuqara–masakin terutama pada hari libur kerja, hari raya 'idil fitri. “Tujuan ini dapat dipahami dari sabda nabi shallallahu alaihi wasallam, ‘aghnuhum’ atau cukupilah mereka (orang miskin dan orang fakir),” kata Kiai Afif.***NU