PELITAKARAWANG.COM
Oleh : Babay Sumarya
 Dampak negative pembangunan yang tidak memperhatikan keserasian kebutuhan manusia dan lingkungan alam dapat menimbulkan bencana bagi manusia. Seperti yang dialami oleh penduduk Dusun Krajan RT.02/05  Desa Klari Kecamatan Klari Kabupaten Karawang  setiap tahun selalu dilanda musibah banjir. Pemandangan seperti itu, setiap musim hujan  dapat dilihat di sepanjang jalan Raya Klari , tepatnya di Km 9 antara masjid Al-Kasiah sampai jembatan Misran Dusun Krajan Desa Klari Kecamatan Klari.

Padahal kalau dilihat dari kondisi tanah hal tersebut tidak perlu terjadi, karena kesebelah timur tanah itu turun dan ada saluran irigasi, kesebelah barat juga tanahnya turun dan ada saluran pembuangan ke Citarum, tetapi karena pembuatan saluran air limbah disepanjang jalan tersebut tidak memperhitungkan daya tampung dan kemana arah air itu harus mengalir menyebabkan air menggenang disepanjang jalan dan perkampungan penduduk.  Selain itu, penduduk disepanjang jalan tersebut membuat gorong-gorong sebagai jalan akses masuk ke rumahnya kurang sesuai , sehingga menimbulkan kemampetan air.                                        


Masalah yang tibul akibat banjir, selalu terjadi kemacetan lalu-lintas di ruas jalan tersebut, karena banyak  kendaraan roda dua maupun kedaraan roda empat mogok  ditengah jalan. dan rumah-rumah penduduk disekitar jalan tersebut terkena imbas kebanjiran. Bahkan menurut pengakuan salah seorang warga , kalau musim hujan telah tiba  ketinggian air di dalam rumah bisa mencapai lebih dari setengah meter, sehingga menyebakan rusaknya barang-barang/ alat rumah tangga miliknya.  Kejadian banjir ini mulai dialami sejak jalur jalan dibagi dua, ujarnya. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut  telah dilakukan oleh masyarakat namun hasilnya tidak memuaskan. Bahkan oleh Ketua  LPM  telah diusulkan melalui salah seorang anggota DPRD Kabupaten Karawang agar diatasi oleh pemerintah, namun belum mendapat tanggapan.

Pada hari Minggu tanggal 10 Nopember 2013 bertepatan dengan Peringatan Hari Pahlawan, telah diselenggarakan Gotong Royong masyarakat untuk membersihkan saluran air disepanjang jalan tersebut . Untuk kelancaran  arus air terpaksa gorong-gorong yang diduga sebagai penyebab mampetnya saluran air dibongkar paksa dengan menggunakan alat berat.  Kegiatan pembongkaran gorong-gorong tersebut tak urung mendapat penolakan warga yang merasa memilikinya. Padahal sehari sebelum kegiatan dilaksanakan  telah dilakukan musyawarah dengan warga . Namun setelah diadakan pendekatan dan penjelasan maksud dan tujuan, serta manfaatnya, akhirnya mereka mengijinkan.

Kegiatan Gotong-Royong tersebut dilakukan oleh masyarakat Dusun Krajan Desa Klari Kecamatan Klari bersama-sama dengan personal TNI Angkatan Darat dari Koramil Kecamatan Klari dan Satuan Polisi Pamong Praja ( SATPOL PP ) Kecamatan Klari. Selain itu mendapat bantuan alat berat dari PT SBRC. Turut hadir dalam kegiatan tersebut Yahya Sopian (Kepala Desa Klari ) , M. Junaedi ( Ketua BPD ),  H. Babay Sumarya,S.Pd. ( Ketua LPM  ), Munji ( Babinsa TNI AD ), Usep Saefullah ( Kepala Dusun Krajan ), dan Asep Oki salah seorang anggota DPRD Kabupaten Karawang.

Berdasarkan pengamatan penulis, kalau saja dibandingkan antara masyarakat kecil ( yang tergolong hidup paspasan bahkan cenderung orang miskin ) dengan masyarakat menengah keatas ( yang dinilai orang kaya ) tingkat kesadaran gotong –royongnya  lebih tinggi orang kecil. Hal ini dapat dibuktikan dari partisipasi tenaga atau financial untuk membantu kegitan gotong –royong, masyarakat kecil lebih banyak yang ikut dan lebih peduli sesuai dengan tingkat kemampuannya. Bahkan bagi orang kecil merelakan gorong-gorong yang baru dibuat beberapa bulan yang lalu, karena dianggap menghambat arus air tanpa argumentasi apapun mereka membongkar sendiri dan diganti dengan jembatan kayu.  Berbeda dengan orang kaya, sebelum mengijinkan dibongkar harus ada acara adu mulut dahulu. Hemm ……sungguh ironis memang , tapi itulah kenyataan.

Sebenarnya Gotong Royong bukanlah hal baru di Indonesia. Bahkan gotong royong digunakan sebagai suatu filsafat yang diwariskan secara turun-menurun oleh generasi bangsa Indonesia. Istilah gotong royong pertama kali dicetuskan oleh Ir. Soekarno saat meresmikan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Dalam pidatonya, Soekarno berbicara, Pancasila apabila diperas akan menjadi Ekasila yang memiliki makna gotong royong. Bila lebih dicermati, dapat dikatakan bahwa budaya gotong royong adalah manifestasi dari sifat dasar bangsa Indonesia sebagai mahluk sosial. Dalam pengertian Aristoteles, sifat ini disebut Zoon Politicon. Menyadari bahwa sifat dasar bangsa Indonesia adalah sebagai mahluk sosial atau mahluk yang selalu hidup berdampingan dengan individu lainnya dan selalu memerlukan bantuan orang lain di setiap kehidupannya, sangat tepat jika budaya gotong royong di jadikan suatu pedoman hidup untuk membentuk masyarakat yang saling peduli satu sama lainnya dan lebih mendahulukan kepentingan bersama dibandingkan kepentingkan individual. Hal ini yang membuat budaya gotong royong di jadikan doktrin bagi seluruh elemen masyarakat Indonesia sebagai suatu sifat dasar unggulan Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara lain manapun di dunia .
Di zaman orde lama dan zaman orde baru budaya gotong - royong dijadikan suatu sifat dasar bangsa Indonesia. berdiri kokoh mewarnai pergerakan nasional di Indonesia . Praktek gotong-royong dijalankan dalam sendi kehidupan di tiap lingkungan mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat yang lebih luas. Bahkan Tak jarang banyak para tokoh besar di masa itu menjadikan gotong royong sebagai filsafat bangsa Indonesia dan suatu kearifan lokal yang diwariskan turun menurun kepada generasi penerus bangsa.
Namun sekarang dalam perkembangannya, berdasarkan kenyataan tersebut di atas, budaya gotong-gotong cenderung memudar dan mengalami penurunan secara signifikan atau bisa kita sebut dengan istilah degradasi. Dengan kata lain  makna gotong royong itu sendiri telah tergantikan oleh sifat egois ,sikap individualisme dan materialisme yang menjadi ciri khas era modernitas. Bertolak belakang dengan gotong –royong yang memiliki pengertian bekerja secara bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama yang dilakukan dengan adil dan tanpa pamrih. Bekerja secara bersama-sama saling tolong menolong tanpa membeda-bedakan kelas sosialnya, suku, bangsa, ras, agama dan budaya untuk mewujudkan kerukunan dan kedamaian antarbangsa Indonesia serta dapat menjalin persatuan dan kesatuan  bangsa dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.

Apakah jiwa dan semangat gotong-royong ini akan dibiarkan terus mengalami degradasi ? Apa sebenarnya penyebab merosotnya jiwa dan semangat gotong-royong ? Lantas bagaimana upaya untuk menumbuhkan kembali jiwa dan semangat gotong –royong ? Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut penulis berpendapat bahwa jiwa dan semangat gotong – royong jangan dibiarkan terus mengalami degradasi, karena jiwa dan semangat gotong-royong adalah filsafat bangsa Indonesia yang merupakan jatidri bangsa, asli budaya Indonesia. Apabila jatidiri bangsa hilang tergerus waktu , maka sebutan bangsa yang berbudaya tinggi hanya akan menjadi kenangan saja digantikan dengan budaya jiplakan ala barat yakni sifat egois ,sikap individualisme dan materialisme. Ingat yang asli dan yang jiplakan nilainya lebih tinggi yang asli.

Banyak penyebab merosotnya jiwa dan semangat gotong-royong antara lain;  kepentingan politik penguasa lebih berorientasi kepada kepentingan partai dan golongan, kurikulum pembelajaran sekolah tidak bermuatan praktek pelaksanaan gotong- royong hanya sebatas “dongeng” tentang gotong-royong,  kesenjangan kemampuan ekonomi masyarakat yang memicu kecemburuan sosial, pola pikir masyarakat yang cenderung hedonisme, tidak ada figure pemimpin yang dapat dijadikan teladan yang ada hanyalah para pemimpin yang tamak dan korup, hanya mementingkan kepentingan dan kekayaan sendiri dengan cara-cara melanggar peraturan perudangan.

Untuk menumbuhkan kembali jiwa dan semangat gotong-royong memang bukan cara yang sederhana, karena masyarakat sudah terlena , dan di beberapa tempat khususnya di kota-kota besar yang mayoritas dihuni oleh sebagian besar penduduk Indonesia , jiwa dan semangat gotong-royongnya sudah hampir punah. Oleh karena itu harus ada gerakan nasional yang pelaksanaanya dituangkan dalam bentuk aturan atau perundangan. Di tingkat daerah sebaiknya menggalakkan kembali tradisi-tradisi daerah yang memang sarat dengan muatan jiwa dan semangat gotong-royong, ditunjang dengan mewajibkan berpakaian adat daerah dalam hari-hari tertentu, seperti di Bali sampai sekarang tradisi tersebut tetap dipertahankan, sehingga Bali memiliki daya tarik tersendiri bagi wisata domestic dan mancanegara. Di tingkat RT,RW, digalakkan kembali kegiatan-kegiatan jiwa dan semangat gotong-royong, di lingkungan sekolah diperbanyak olah raga permainan tradisional yang sarat dengan nilai-nilai jiwa dan semangat gotong royong serta praktek-praktek langsung gotong – royong, bukan cerita kisah tentang gotong-royong. ( Bay.S ).

@Redaksi 2013 E Mail : pelitakarawang@gmail.com - redaksipelitakarawang1@gmail.com