Jakarta, PEKA. - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap DPR segera membahas dan mensahkan Undang-undang Perampasan Aset Tindak Pidana. Selama ini, UU tersebut belum juga masuk dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas).
"Perlu didorong (pembahasan dan pengesahan UU Perampasan Aset Tindak Pidana," kata Komisioner KPK, Zulkarnain dalam Media Gathering KPK di Camp Hulu Cai, Cibedung, Ciawi, Bogor, Jawa Barat, Jumat (20/11).
Menurut Zul, sapaan Zulkarnain, pengesahan UU Perampasan Aset Tindak Pidana akan melengkapi UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam proses pemberantasan korupsi. Hal ini, katanya, lantaran banyak aset koruptor yang tidak terjangkau UU Tipikor dan UU TPPU. Sementara aset-aset tersebut tidak dapat dibuktikan para koruptor berasal dari cara yang sah.
"Ada aset yang memang tidak terjangkau Tipikor kemudian TPPU juga tidak menjangkau, tapi dia (koruptor) juga tidak bisa membuktikan mendapat aset tersebut dengan cara yang sah dan harta yang dia miliki luar biasa," katanya.
Zulkarnain mengakui, dengan UU Tipikor dan UU TPPU, KPK tidak dapat maksimal dalam menyita aset koruptor. Melalui penindakan yang dilakukan selama ini KPK tidak mampu mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan tindak pidana korupsi.
Dalam penelitiannya, KPK menemukan, jaksa penuntut yang menangani perkara korupsi sejak tahun 2008 hingga 2011 rata-rata hanya menuntut 44 persen dari kerugian negara yang ditimbulkan tindak korupsi berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Persentase tersebut kembali menyusut hingga menjadi hanya 7 persen saat perkara tersebut inkracht.
"Menjelang inkracht, rata-rata hanya 7 persen dari kerugian negara yang dituntut tadi. Di KPK, kita lihat, yang dibayar uang penganti. Ternyata uang penganti yang dibayar terpidana hanya 50 persen, sisanya menjalani penjara.
Denda juga sekitar 50 persen," tuturnya.

RUU Perampasan Aset Tindak Pidana saat ini masih dalam tahap sosialisasi yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM dengan menggandeng sejumlah lembaga seperti Kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan KPK serta akademisi dan masyarakat.
Pembahasan RUU ini masih perlu didiskusikan, terutama menyangkut institusi yang berwenang terlibat dalam perampasan aset tindak pidana tersebut.


suarapembaruan