Karawang-.Publik masih ingat pada kasus yang menimpa seorang Nenek (63) pada Maret 2015, yang harus menghadapi proses hukum di Pengadilan Negeri Situbondo dengan tuduhan mencuri 38 papan kayu Perhutani di Dusun Kristal, Desa Jatibanteng, Situbondo, Jawa Timur.

Kini kasus yang sama kembali menimpa petani Karawang, Apud (54), asal Kampung Cibinong, Desa Parung Mulya, Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang. Kakek yang sehari-hari hidupnya bergantung dari hasil hutan itu dituduh melakukan pencurian dan pengambilan kayu Perhutani.

Kasus penangkapan ini terjadi pada Senin (14/8) siang kemarin, sekira Pukul 01.00 WIT. Sekitar delapan aparat Polhut setempat yang melihat pengambilan sebatang kayu itu, langsung menangkap dan menyeret Kakek Apud ke Polsek Pangkalan.

Menurut pendamping petani Karawang, Maman, Kakek Apud mengambil sebatang pohon tanaman Pornes miliknya sendiri, sementara tanaman perhutanan milik Perhutani adalah tanaman Sengon.

"Pohon yang ditebang bukan pohon Perhutani dan lagian Kakek Apud nebang buat ganti tiang rumahnya yg hampir roboh," ungkap Maman yang saat ini sedang mendampingi Kakek Apud di kantor Polres Karawang.

Disayangkan bila aparat tidak bisa membedakan petani dengan cukong. Kondisi Kakek Apud jauh dari Sejahtera, ia tinggal di sayangnya yang reot bersama sang istri, Nenek Dewi ditemani tiga anaknya.

"Gampang sekali membedakan antara pembalak kayu dengan pemanfaatan kayu oleh masyarakat secara pribadi, cukup dilihat volume tebangannya. Untuk komersil, cukong mana mau tebang sebatang pohon? Jadi aparat mesti jeli," katanya.

Sejak lama tanaman milik Perhutani, lanjut Maman, samasekali tidak pernah diganggu oleh Kakek Apud juga oleh petani sekitarnya.

Menurutnya, baik Perhutani maupun Polhut setempat tidak memahami substansi dari program Perhutanan Sosial.

"Perhutanan Sosial pada dasarnya untuk melindungi masyarakat sekitar hutan yang hidupnya bergantung dari hasil hutan. Terlebih lagi jika petani tersebut merupakan petani miskin yang memang berhak mendapat akses pemanfaatan hasil hutan," terang Maman.

Menurut aktifis Serikat Petani Teluk Jambi (STTB) yang sempat melakukan aksi mengubur diri di depan Istana bersama petani itu menyebutkan jika yang dilakukan oleh pihak Polhut dan Perhutani tersebut disinyalir untuk mengacaukan proses penyelesaian konflik yang hampir selesai.

"Jadi aneh bila Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat (DLH Jabar) menolak lahirnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Nomor P.39 /MenLHK/setjend/Kum. 1/6/2017 tentang Perhutanan Sosial. Padahal ini adalah solusi untuk menyelesaikan konflik agraria yang sudah terjadi puluhan tahun," tuturnya.

Terkait dengan dugaan praktek alih fungsi lahan dan mafia tanah yang dilakukan oknum LKMD dan Perhutani, pihaknya juga sudah memberikan laporan kepada Kementerian LHK.

"Intinya, Bapak Presiden Jokowi maupun Kementerian LHK Ibu Siti Nurbaya telah berkomitmen melinduungi petani dan menyelesaikan konflik lahan petani Karawang dengan skema Perhutanan Sosial, Dan inilah yang diharapkan oleh petani, mereka diberi akses kehidupan oleh negara," ungkapnya.

Ia meminta kepada semua pihak untuk tidak membuat kegaduhan dan melakukan kriminalisasi ditengah komitmen pemerintah untuk menyelesaikan konflik lahan masyarakat dan Perhutani.

"Kami meminta pihak Perhutani dan Polhut di Karawang percaya kepada Presiden dan Kementerian LHK dalam menyelesaian konflik ini agar program Perhutanan Sosial ini tepat sasaran untuk masyarakat yang berhaklah dan untuk tujuan peningkatan kesejahteraan rakyat dan peningkatan kualitas ekologi," paparnya.

Kami juga minta dukungan dari semua pihak agar untuk membantu memperjuangkan hak dan pembebasan Kakek Apud. "Sebab ini adalah preseden buruk ditengah upaya pemerintah melakukan reforma agraria untuk melindungi dan memuliakan para petani," tutupnya.

Editor: Farida