PELITAKARAWANG.COM - Masa transisi menuju pertanian berteknologi ditahun 2020, menjadi kekhawatiran tersendiri bagi buruh tani dan kuli. Selain mengancam perekonomian keluarganya, penggunaan tangan-tangan mesin di khawatirkan hanya di kuasai orang-orang kaya dan berduit. 

"Sekarang tenaga kita nanti mulai gak di pakai, terus gantinya pakai alat semisal Kombine dan Transplanter, sekarang siapa yang mampu membeli alat secanggih itu kalau bukan orang kaya. Jadi yang kuli itu ya orang kaya yang akan siap tambah kaya lagi, " Keluh buruh tani asal Tempuran, Gugun, Jumat (29/11). 

Lebih jauh ia menyebut, betapapun alat-alat tersebut tidak dibeli seperti traktor, kadang-kadang bantuannya juga pilih kasih. Misal dari Dinas, yang dipastikan dapat juga biasanya orang kaya yang kebetulan punya Gapoktan dan kelompok tani, bukan diberikan kepada buruh tani. Kemudian, buruh tani saat hendak melakukan pengolahan, pinjam traktor dinas saja, sewanya di banderol selangit. Kondisi semacam ini yang disebut belum memenuhi rasa keadilan. Apalagi, saat ini, mekanisasi pertanian dengan teknologi, ia balik khawatir, orang kaya yang akan banyak jadi kuli untuk menambah kekayaannya. "Kita gak anti teknologi, tapi siapa nanti pemilik alatnya, pasti bukan kita juga kan, karena hanya orang berduit saja yang mampu membeli alat semisal Kombine seharga 1 unit mobil tersebut, " Ungkapnya. 

Wakil Ketua DPRD Karawang, Deden Rahmat mengatakan, mekanisasi alat pertanian memang baik dan hard di dukung, selama Dinas mampu menjelaskan permasalahan sosial di lapangan. Buruh tani setiap tahun itu menyusut, bukan hilang, maka yang sisa-sisanya ini harus banyak di berdayakan, sekurang-kurangnya kontrak dengan perusahaan produsen Kombine dan Transplanter misalnya, agar mereka bisa di latih jadi teknisinya dan bisa mengoperasikan alat-alat tersebut di sawah. "Harus di rembukan secara masif, agar permasalahan sosial tetap bisa di tangani baik, " Pungkasnya. (Rud)