Kebijakan moneter yang terdampak akibat mewabahnya pandemi virus Corona (Covid-19) memerlukan penyesuaian yang cepat. Anggota Komisi XI DPR RI Ramson Siagian mencontohkan, dengan merebaknya isu agar Bank Indonesia (BI) mencetak uang pada akhir Maret dan awal April 2020 lalu, respon pasar cukup memperlembah posisi rupiah yang sempat menyentuh level Rp 17.000 per dollar Amerika Serikat (AS). 

Namun, dengan berhasilnya Pemerintah mendapatkan utang dan menerbitkan global bond sebesar 4,3 miliar dollar AS dan upaya BI melakukan Quantitative Easing (pelonggaran kuantitaf) dalam berbagai bentuk operasi moneter, bukan dengan mencetak uang, posisi rupiah kembali pada kisaran Rp 15.000 per dollar AS.

“Upaya memperoleh Repo line oleh BI dari The Federal Reserve sebesar 60 miliar dollar AS atau setara Rp 900 triliun saat kurs Rp 15.000, dan menjadi setara  Rp 1.002 triliun saat kurs Rp 16.700 adalah upaya yang tepat untuk persiapan operasi moneter selanjutnya dan lebih tepat daripada  melaksanakan usulan cetak uang yang risiko terlalu tinggi," kata Ramson.

Meski demikian, pelaksanaan Quantitative Easing sebagai bagian dari teori Modern Monetary bisa terjadi, namun dalam pelaksanannya dipengaruhi oleh banyak variabel. Misalnya Jepang yang memiliki cadangan devisa (cadev) mencapai 1.387 miliar dollar AS, yang membuat negara tersebut lebih bebas bervariasi menjalankan QE. Berbeda dengan Indonesia yang hanya memiliki cadev 130 miliar dollar AS, serta posisi variabel lain seperti struktur investor, surat utang negara, dan sebagainya.

"Jika Bank Indonesia melakukan kesalahan strategis dalam membuat kebijakan moneter, selain laju inflasi akan meningkat tajam, posisi rupiah akan melemah tajam dan cadangan devisa juga akan berkurang signifikan, karena potensi terjadinya capital flight, dan nilai utang serta bunga utang foreign currency baik Pemerintah maupun swasta jika dikonversi dengan rupiah akan membengkak tak terkendali," imbaunya.

Lebih lanjut, politisi Fraksi Partai Gerindra tersebut mengatakan bahwa tidak perlu dengan kaca mata kuda melihat perkembangan Quantitative Easing. Menurutnya, jika dilihat dari salah satu basis teori moneter dengan persamaan MV=PT, maka untuk menggerakan perekonomian saat melambat atau saat menunjukkan potensi reses, maka memerlukan peningkatan likuiditas atau pelonggaran uang (M) secara besar-besaran.

"Hanya model model pelonggaran uang (M) berkembang antara lain dengan Quatitative Easing itupun dengan berbagai model yang dipengaruhi berbagai variabel agar tidak timpang atau agar tetap bisa terjadi economic equilibrium," jelas legislator daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah X itu.

Dengan diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan ketat dalam waktu yang lama, menurutnya, malah akan terjadi perubahan terpaksa di sebagian besar masyarakat yang menahan uangnya karena sempitnya ruang untuk membelanjakannya. Sehingga, variabel traksasksi (T) menjadi jauh di bawah normal, sehingga peningkatan likuiditas dengan pelonggaran uang (M) kurang efektif.

Berdasarkan sejumlah data yang dihimpunnya dari rapat-rapat virtual antara Komisi XI DPR RI dengan Kementerian Keuangan, BI, dan Otoritas Jasa Keuangan, hingga April 2020 jumlah simpanan di perbankan ada sekitar Rp 6.110,5 Triliun, dan jumlah  kredit Rp 5.647 triliun serta aset perbankan sekitar Rp 8.376,3 triliun.

"Logikanya kalau 75 persen pergerakan ekonomi berhenti, kredit yang sudah disepakati pun akan banyak yang menganggur (idle) dan tidak efektif untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi, tidak efektif untuk mendorong peningkatan variabel konsumsi dan variabel investasi tapi disatu sisi debitur akan terus  menerus membayar angsuran dan atau bunga kredit," pungkas Ramson.
BI telah memperoleh Repo line dari The Feds sebesar 60 miliar dollar AS. Selain itu, Pemerintah juga telah memperoleh utang dengan menerbitkan obligasi Global Bond sebesar 43 miliar dollar AS. Quantitative Easing yang dilakukan senilai Rp 503,8 triliun, yang dilakukan dengan pembelian SBN Pemerintah dari pasar sekunder senilai Rp 166,2 triliun, Term Repo Perbankan Rp 137,1 triliun, penurunan GWM Rp 53 triliun dan Rp 102 triliun, serta tidak mewajibkan tambahan giro bagi yang tidak memenuhi PLM Rp 15,8 triliun.**alw/sf