Sebelumnya disebutkan oleh seorang warga Karawang untuk 'Vice presiden Relation PT. PHE ONWJ adalah asbun alias asal bunyi".

Pihak petani tambak sangat menyayangkan kalau di pihak PT PHE ONWJ memiliki SDM yang seperti itu. 

Ungkapan warga Karawang bisa seperti itu bermula dari pernyataan Ifki dalam sejumlah media,pada tanggal 13 Juni 2020, dan itu menurut warga, pernyataan Ifki dianggap tidak memiliki dasar".

Pernyataan Asbun dan lainnya pada berita awal adalah menurut narasumber Nursyaid, Petani Tambak Tradisional asal Sungaibuntu.


Ia mengatakan ," itu Ifki asal bunyi saja kalau ngomong.Padahal saya ini Petani Tambak yang terdampak ketika di survei oleh Mahasiswa IPB dan Dinas kelautan dan Perikanan, diwawancarai soal luas lahan, penghasilan rata-rata, ongkos produksi dan keuntungan setelah panen. Setelah itu kami di pinta foto copy surat-surat legalitas tambak. Kalau legalitas tidak ada ya dipinta SPPT. Artinya jelas semuanya dalam wawancara sangat detail. Dan bisa diitung secara akurat nilai ganti ruginya"

Kemudian melalui sambungan telepon (WA),Ifki S Vice presiden Relation PT. PHE ONWJ mengatakan ,beda kalau pendataan yang dilakukan oleh IPB itu untuk survey pendapatan warga yang dan dilakukan secara sampling, tidak semua warga disamplinh karena tujuannya berbeda.

Sementara,sambungnya,kalau pendataan yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Peikanan yang dilakukan Agustus 2019 lalu, untuk pendataan warga terdampak yang akan diberikan kompensasi.

Dari data warga terdampak penerima kompensasi tersebut yang kami terima, banyak data yang belum terisi. Dan sampai hari ini,Jumat,19/6/2020, Tim PHE ONWJ bersama Dinas Perikanan Karawang masih terus melengkapi datanya,aku dari Ifki.


Kabar ini diturunkan beberapa nama pejabat yang disebut sebagai Pokja atau dari Dinas Perikanan dan Kelautan Karawang,mereka belum ada yang menjawab saat dikonpirmasi keterkaitan atau kebenaran dari keterangan Ifki yang disampaikan kepada Redaksi Pelita Karawang

Mengutip tulisan Portonews terkait Insiden tumpahan minyak di Teluk Balikpapan yang terjadi pada Sabtu, 31 Maret 2018 lalu menjadi topik pemberitaan hangat di media massa maupun di kalangan masyarakat, bahkan menjadi sorotan media internasional. Tumpahan minyak tersebut tepatnya terjadi di sekitar wilayah Pelabuhan Pertamina Unit Pengolahan V Balikpapan dan menimbulkan kebakaran, serta menelan korban jiwa.

Menurut laporan tim investigasi tumpahan minyak di perairan Teluk Balikpapan, minyak yang tumpah berasal dari pipa bawah laut milik Pertamina. Pipa minyak Pertamina tersebut terseret hingga sejauh 100 meter dan terputus pada kedalaman 22-26 meter di bawah permukaan air laut.

Proses penanggulangan tumpahan minyak di Teluk Balikpapan ini, baru dilaksanakankan secara besar-besaran tiga hari setelah insiden terjadi. Hal ini dikarenakan pada awalnya Pertamina mengira minyak yang tumpah tersebut bukan miliknya.
Mulai hari keempat Pertamina melakukan pembersihan area perairan dan pantai yang terpapar tumpahan minyak dibantu oleh semua perusahaan migas asing yang melakukan eksplorasi dan produksi di sekitar Balikpapan. Selain itu juga dilibatkan tim profesional dari sebuah perusahaan nasional yang sangat memiliki keahlian di bidang penanggulangan tumpahan minyak.

Jika membahas tentang peraturan dan perundang-undangan tentang tumpahan minyak, Indonesia sudah lebih maju dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Sebab Indonesia sudah memiliki banyak peraturan juga undang-undang mengenai penanggulangan tumpahan minyak dan pencemaran lingkungan, di antaranya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhan.
Kemudian, Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim, Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 58 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Pencemaran di Perairan dan Pelabuhan.

Sedangkan untuk penetapan sanksi, terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan beberapa undang-undang dan peraturan lainnya.

Dalam penanggulangan tumpahan minyak, hal yang paling utama harus dilakukan pada saat kejadian adalah menetapkan garis lintang dan garis bujur titik lokasi, lalu memasukan data tersebut ke dalam program trajectory modelling. Melalui trajectory modelling kita dapat mendapatkan manfaat dalam upaya penanggulangan tumpahan minyak, yaitu:

Waktu untuk mempersiapkan penanggulangan tumpahan minyak.

Prediksi berapa lama minyak akan sampai di wilayah pantai.

Prediksi luas penyebaran tumpahan minyak di laut dan pantai.

Menentukan jumlah dan jenis Peralatan Penanggulangan Tumpahan Minyak yang dibutuhkan. Misalnya, panjang oil boom yang dibutuhkan dan jumlah skimmer yang diperlukan. Oil boom merupakan salah satu peralatan penanggulangan tumpahan minyak yang digunakan untuk melokalisir tumpahan minyak, dan oil skimmer adalah alat untuk menyedot minyak dari permukaan air yang sudah dilokalisir oleh oil boom.

Setiap unit kegiatan pengusahaan minyak dan kegiatan kepelabuhanan harus memiliki manajemen risiko atau di dalam dunia oil spill lebih dikenal dengan istilah Oil Spill Contingency Plan (OSCP). OSCP merupakan panduan perencanaan penanggulangan tumpahan minyak, yang di dalamnya memuat perkiraan pergerakan tumpahan minyak, metode dan teknik penanggulangan, perhitungan kebutuhan personil, serta jumlah yang benar dari peralatan penanggulangan tumpahan minyak, serta trajectory modelling.

OSCP sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan yg dikenal dengan nama PM 58, pada pasal 22 ayat (1) yang menyatakan, “Persyaratan penanggulangan pencemaran di unit kegiatan dan kegiatan pelabuhan dilakukan berdasarkan penilaian (assessment)”. Selanjutnya dijelaskan lebih terperinci di dalam ayat (2) yang menyebutkan, “Penilaian sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengkaji antara lain:

Potensi pencemaran yang dapat terjadi di area unit kegiatan lain atau pelabuhan;kepekaan lingkungan;Kondisi arus dan angin di daerah unit kegiatan lain atau pelabuhan; danerkiraan pergerakan tumpahan minyak dan bahan lainnya”.
Serta ayat (3) juga menjelaskan tentang hasil penilaian, “Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
hasil kajian potensi pencemaran di unit kegiatan lain atau pelabuhan;
peta kepekaan lingkungan;perkiraan pergerakan tumpahan minyak;eMtode dan teknik penanggulangan pencemaran;perhitungan ketersediaan peralatan dan bahan;ePrhitungan ketersediaan personil; dan
laporan akhir penilaian”.

Pertamina sudah memiliki Protap (Prosedur Tetap) dalam penanggulangan tumpahan minyak. Tetapi, Protap dan OSCP tidak sama. Selain ada perbedaan antara Protap dan OSCP, hal yang paling membedakan adalah, protap tidak melampirkan trajectory modelling, sedangkan di dalam OSCP terdapat lampiran tentang trajectory modelling. OSCP harus disahkan oleh Direktorat Jenderal Hubungan Laut, Kementerian Perhubungan, sedangkan Protap tidak perlu disahkan oleh Direktorat Perhubungan Laut.

Sesuai dengan PM 58/2013, pasal 22 ayat (6) yang menyebutkan, “Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat pengesahan dari Direktur Jendral”. Jadi jelas bahwa Oil Spill Contingency Plan atau OSCP sudah sesuai dengan dengan peraturan ini.

Anak perusahaan Pertamina yang sudah memiliki OSCP adalah perusahaan-perusahaan di bawah Pertamina Explorasi dan Produksi (EP), antara lain EP Tanjung, EP Tarakan, EP Bunyu, EP Sanga-Sanga, dan EP Sangatta. Pertamina Unit Pengolahan yang sudah memiliki OSCP hanya Pertamina RU II Dumai, sedangkan yang lainnya, termasuk Pertamina Unit Pengolahan V Balikpapan belum memiliki.

Belajar dari insiden yang terjadi di Teluk Balikpapan, kalau dilihat dari data pada trajectory modelling, lama waktu penyebaran minyak dari sumber tumpahan sampai wilayah pantai sekitar 7 jam. Seandainya Pertamina Unit Pengolahan V Balikpapan memiliki OSCP, belum tentu juga Pertamina punya cukup waktu untuk menanggulangi tumpahan minyak ini.

Tidak mudah untuk mempersiapkan peralatan penanggulangan tumpahan minyak, memuatnya ke kapal, dan membawanya ke kelokasi tumpahan dalam kurun waktu 7 jam, kecuali kalau Pertamina memiliki kapal yang dilengkapi peralatan penanggulangan tumpahan minyak yang siaga jika terjadi tumpahan minyak.

Insiden tumpahan minyak ini menjadi berita besar karena ada korban jiwa dan penanggulannya baru dilaksanakan tiga hari setelah insiden. Hal itu dikarenakan masih adanya perbedaan pendapat mengenai siapa yang menyebabkan tumpahan minyak tersebut.

Modeling, penyebaran tumpahan minyak di Teluk Balikpapan

Dalam penanggulangan tumpahan minyak hanya ada dua metode yang digunakan, yaitu metode mechanical dan metode chemical. Metode mechanical menggunakan peralatan penanggulangan tumpahan minyak, seperti alat untuk melokalisir tumpahan itu (oil boom), alat untuk menyedot minyak yang sudah dilokalisir (oil skimmer), dan alat-alat lainnya. Kedua metode ini digunakan dalam penanganan tumpahan minyak di Balikpapan.

Metode selanjutnya adalah metode chemical, dengan menyemprotkan dispersant di atas tumpahan minyak yang mengapung di permukaan air. Metode chemical ini membahayakan biota laut di sekitar pantai. Untuk menerapkan metode chemical ini. International Maritime Organization (IMO) memiliki pedoman mengenai penggunaan dispersan, yang salah satunya adalah ketentuan tentang kedalaman perairan yang harus lebih dari 10 meter.

Peraturan tentang penggunaan dispersan ini sangat ketat, karena dispersan mengandung bahan dasar surfaktan. Surfaktan adalah senyawa kimia berbahaya, termasuk dalam kategori bahan berbahaya beracun (B3). Artinya, dispersan adalah bahan kimia beracun.

Atas dasar itu beberapa negara, seperti Yunani, Jepang, Norwegia, dan sejumlah negara lainnya sangat memperketat penggunaan dispersan dalam penanggulangan tumpahan minyak.

Dalam OSCP juga jelas disebutkan, di zona-zona mana saja dispersan tidak boleh disemprotkan, yaitu zona pantai, rawa, hutan bakau, zona perairan dengan kedalaman kurang dari 10 meter, serta zona-zona sensitif lainnya yang akan rusak jika terkena dispersan. Di area-area tersebut dispersant jenis apapun tidak boleh digunakan.

Umumnya dispersan dijual dalam 2 jenis, yaitu jenis yang menggunakan bahan dasar air dan bahan dasar minyak.

Ada pendapat bahwa dispersant yang menggunakan bahan dasar air tidak berbahaya dan ramah lingkungan. Sebenarnya dispersan yang mengunakan bahan dasar air pun tetap berbahaya dan tidak ramah lingkungan.

Karena pada dasarnya, unsur utama pada dispersan, baik yang berbahan dasar air atau minyak, adalah surfaktan. Sehingga, seharusnya pemerintah menerapkan ketentuan yang lebih ketat mengenai penggunaan dispersan dalam penanggulangan tumpahan minyak atau melarang penggunaan dispersan dalam penanggulangan tumpahan minyak, dengan pertimbangan Indonesia adalah salah satu negara pengekspor ikan terbesar di dunia.

Dalam pembersihan wilayah pesisir di sekitar Balikpapan, seperti diberitakan oleh beberapa media, petugas menggunakan dispersan untuk mengurai tumpahan minyak. Bahkan ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta, seorang pejabat sedang menjelaskan penanggulangan tumpahan minyak dengan latar belakang orang-orang sedang menyemprotkan dispersan di pantai dekat dermaga dan permukiman warga.

Andaikan pejabat tersebut telah mengikuti pelatihan IMO Level 3 tentunya dia tidak akan mau diwawancarai kru tim liputan televisi, dengan latar belakang para pekerja sedang menyemprotkan cairan dispersan yang mengandung surfaktan alias racun.

Dari segi biaya metode mechanical tentunya jauh lebih mahal dari pada metode chemical, tapi dampak terhadap lingkungan hidup dari penerapan metode chemical seharusnya diperhitungkan juga. Untuk menguji apakah metode chemical merusak atau membunuh biota laut, seharusnya dilakukan sampling setelah penyemprotan dispersan. Sebaiknya sampling dilakukan oleh institusi independen atau perguruan tinggi, sehingga tidak ada kepentingan komersial.

Seperti diketahui, bahwa peralatan penanggulangan tumpahan minyak memang mahal, dan pengoperasian peralatannya juga tidak mudah. Selain itu, responder yang mengoperasikan peralatan tumpahan minyak harus profesional dan memiliki sertifikasi IMO level 1, 2, dan 3. Jadi tidak sembarangan orang mengoperasikannya.

Responder adalah orang-orang yang memiliki kualifikasi dalam mengoperasikan peralatan penanggulangan tumpahan minyak.

Untuk responder yang bersertifikasi IMO Level 1 harus bisa mengoperasikan peralatan tumpahan minyak dari berbagai jenis dan merek yang mempunyai cara kerja yang berbeda beda. Responder bersertifikat IMO Level 2 adalah ahli yang bisa menulis dan menyusun Oil Spill Contigency Plan (OSCP) atau panduan perencanaan penanggulangan tumpahan minyak.

Sedangkan responder dengan sertifikasi IMO 3 lebih ditekankan bagaimana menghitung klaim biaya penanggulangan tumpahan minyak dan bagaimana menghadapi media pada saat dan sesudah peristiwa tumpahan minyak.

Bahkan sertifikat IMO Level 1, 2, dan 3 yang dikeluarkan oleh lembaga atau perusahaan penyelenggara training juga harus disetujui oleh Direktorat Jenderal Hubungan Laut, Kementerian Perhubungan, sebagaimana disebutkan dalam PM 58/2013, pasal 7, ayat (7), “Kompetensi personil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuktikan dengan sertifikat keterampilan yang dikeluarkan oleh lembaga/atau badan pelatihan yang telah disetujui oleh Direktur Jenderal.

Di Indonesia saat ini sudah ada beberapa perusahaan atau lembaga yang mencetak orang-orang qualified dalam penanggulangan tumpahan minyak, bahkan juga memberikan akreditasi bertaraf internasional dari The Nautical Institute, London.

Perusahaan minyak dunia pada umumnya menyerahkan kewajibannya dalam hal penanggulangan tumpahan minyak kepada pihak ketiga.

Di Indonesia, telah disebutkan dalam PM 58/2013 Bab IV pasal 8 ayat (2), PM 58/2013 Bab V pasal 15 ayat (1), dan PM 58/2013 Bab VII pasal 22 ayat (5), bahwa baik alat, personil, dan juga penilaian (assessment) dapat disediakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang penanggulangan pencemaran yang berbadan hukum Indonesia yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan.

Sementara di luar negeri pada umumnya, hampir semua perusahaan minyak menyerahkan urusan penanggulangan tumpahan minyak ini kepada perusahaan yang memang ahli dan kompeten, sehingga mereka bisa konsentrasi dalam bisnis mereka.

Penggunaan oil boom dan oil skimmer dalam penanggulangan tumpahan minyakPM 58/2013 sudah sangat lengkap dalam menjelaskan dan mengatur permasalahan penanggulangan tumpahan minyak, dan bahkan memperbolehkan perusahaan minyak atau perusahaan yang berpotensi menumpahkan minyak menyerahkan urusan penanggulangan tumpahan minyak ke perusahaan lain yang benar-benar mempunyai kompetensi di bidang manajemen penangulangan tumpahan minyak ini.

Di Indonesia sendiri cukup banyak perusahaan minyak kelas dunia yang menyerahkan urusan penanggulangan tumpahan minyak kepada pihak ketiga, sehingga perusahaan tersebut memiliki kesiagaan yang lebih baik dalam menghadapi tumpahan minyak.

Perusahaan-perusahaan itu antara lain Repsol, ExxonMobil Cepu, Wilmar, Shell, dan masih banyak lagi beberapa perusahaan lainnya.

Perpres No. 109 Tahun 2006 juga mengatur dengan jelas mengenai prosedur penanggulangan tumpahan minyak. Dalam kasus tumpahan minyak di Balikpapan masuk dalam tier 2, sehingga tidak semua komponen pemerintah harus turut terlibat dalam penanggulangannya. Perpres 109/2006 sangat jelas menetapkan katagori mengenai penanggulangan tumpahan minyak dengan menyebut istilah yang dipakai di dunia yaitu tier 1, tier 2 dan tier 3.

Tier 1, kalau tumpahan minyak terjadi dalam wilayah kerja perusahaan minyak dan gas bumi dan kegiatan lain, bisa ditangani dengan peralatan yang tersedia.

Tier 2, kalau tumpahan minyak terjadi dalam wilayah kerja perusahaan minyak dan gas bumi dan kegiatan lain, yang TIDAK bisa ditangani dengan peralatan yang tersedia.

Tier 3, kalau tumpahan minyak terjadi dalam wilayah kerja perusahaan minyak dan gas bumi dan kegiatan lain, yang TIDAK mampu ditangani berdasarkan Tier 2, atau tumpahan minyak melintas batas wilayah n Penanggulangan Tier-3 bisa melibatkan negara dalam menanggulangi tumpahan minyak tersebut, di Indonesia ada Tim Nasional Penanggulangan Tumpahan Minyak dan juga dibentuk Pusat Komando dan Pengendalian Nasional (PUSKODALNAS).

Perpres 109/2006 ini juga sudah diakui dunia, bahkan International Tanker Owners Pollution Federation (ITOPF) di London dalam notifikasinya menyatakan bahwa Perpres ini sebagai National Oil Spill Contingency Plan atau Rencana Tanggap Darurat Penanggulangan Tumpahan Minyak Nasional Indonesia.

Secara umum dapat disimpulkan, pada dasarnya seluruh peraturan dan perundang-undangan yang ada saat ini sudah bagus. Adapun yang perlu dikritisi adalah bagaimana pelaksanaannya di lapangan, dan bagaimana setiap perusahaan, bukan hanya Pertamina serta perusahaan pengeboran dan eksplorasi minyak, termasuk seluruh pengelola pelabuhan, badan usaha dan unit kegiatan lain yang punya potensi menumpahkan minyak, harus tunduk dan patuh melaksanakan apa yang sudah diamanatkan dalam peraturan dan perundang-undangan yang ada.**red.