Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meminta kepala daerah yang akan maju di Pilkada 2020 tidak lagi menjabat sebagai Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di daerah.

Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, imbauan ini perlu diterapkan agar calon petahana tak memanfaatkan pagebluk COVID-19 untuk memuluskan langkah mereka saat pilkada.

"Di tengah pandemi COVID-19 apa dimungkinkan kepala daerah, kan, saat ini mereka jadi ex-officio Kepala Gugus Tugas. Apakah mungkin ex-officio ini tidak dijabat kepala daerah yang petahana atau diarahkan ke Sekda yang tidak mencalonkan diri?" kata Abhan dalam agenda webinar yang ditayangkan di YouTube, Selasa, 16 Juni.

Menurut dia, hal ini harus dilakukan agar para calon petahana tidak memanfaatkan bantuan pemerintah untuk masyarakat terdampak COVID-19 guna mendongkrak elektabilitas mereka.

Apalagi, Bawaslu menilai calon petahana sangat mungkin memanfaatkan situasi pagebluk untuk mencari simpati warga. Contohnya, dengan menempelkan stiker wajah mereka tanpa seragam kepala daerah pada bantuan pemerintah yang akan dibagikan.

"Ada stiker gambar (calon petahana) yang bukan memakai baju kepala daerah dan kebetulan mereka sudah mendapat rekomendasi dari partai politik," ungkap Abhan.

Meski tak menyebut lokasi kejadian tersebut terjadi, namun ini menjadi salah satu persoalan yang bisa merugikan calon pendatang baru.

Sehingga, dia meminta, para petahana tidak memanfaatkan situasi dan bantuan COVID-19 untuk kepentingan politik praktis Pilkada 2020.

"Saya kira, petahana sudah dapat banyak akses ya, dibandingkan dengan pendatang baru. Saya kira, kita harus fair dalam pelaksanaan tahapan Pilkada tahun 2020 ini," tegasnya.

Di kesempatan yang berbeda, Abhan telah menyinggung soal potensi kecurangan di dalam pilkada yang bakal dilaksanakan pada 9 Desember.

Hal ini membuat Bawaslu memonitor pergerakan politik kepala daerah yang kembali ikut dalam kontestasi dalam pilkada sebagai calon petahana.

Dia mengingatkan, kepala daerah petahana, baik wali kota, bupati, maupun gubernur di 270 daerah yang akan melaksanakan pilkada dilarang melakukan mutasi atau pergantian pejabat ASN daerah di sisa masa kepemimpinannya.

"Kami mengimbau kepada bapak-ibu bakal calon yang petahana jangan melakukan mutasi jabatan sejak tanggal 23 maret sampai 6 bulan sebelum penetapan pasangan calon," kata Abhan dalam konferensi pers virtual, Senin, 15 Juni.

Larangan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal 71 Ayat (2) mengamanatkan gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri.

"Bagi kepala daerah yang melanggar, ancamannya bisa sanksi administrasi hingga diskualifikasi," ujar Abhan.

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengklaim, banyak kepala daerah setuju Pilkada 2020 tetap dilaksanakan pada 9 Desember meski pagebluk COVID-19 masih terjadi.

"Kalau kepala daerah berdasarkan monitor kami, hampir seluruhnya setuju. Ya, ada 1, 2 (yang tidak setuju) lah, biasa. Tapi kalau dilihat persentasenya lebih dari 2/3 bersemangat untuk segera dilaksanakan," kata Mahfud dalam keterangannya, Kamis, 11 Juni.

Dia sadar, pelaksanaan Pilkada 2020 di masa pagebluk menjadi kontroversi di masyarakat. Namun, hal ini dianggapnya sebagai sesuatu yang biasa saja.

Karenanya, Mahfud meminta semua pihak berpikir positif mengenai penyelenggaraan pilkada ini. "Kalau semuanya berpikiran baik, menurut saya, pada akhirnya tidak akan menimbulkan konflik," tegasnya.

Mahfud MD menjelaskan, pemilihan kepala daerah ini tidak mungkin ditunda dengan alasan pagebluk. Sebab, tidak ada yang bisa memastikan berakhirnya pagebluk COVID-19 ini.

"Kalau menunggu kapan corona selesai juga tidak ada yang tahu kapan selesainya," ungkap dia.

Dia menambahkan, pelaksanaan pilkada pada 9 Desember telah disepakati oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak penyelenggara yang independen, DPR RI, dan pemerintah.

Lagipula, pilkada perlu segera dilaksanakan untuk menjaga agar pemerintahan di daerah tetap bisa bekerja secara efektif.

"Kalau ditunda terus kapan selesainya, itu kan pemerintahan nanti Plt (Pelaksana tugas) semua. Kalau Plt semua, tidak bisa mengambil langkah tertentu yang sangat diperlukan oleh pemerintahan sehari-hari," tegasnya.

"Oleh sebab itu, tanggal 9 Desember nanti, akan diselenggarakan pilkada serentak sesuai dengan jadwal yang sudah disepakati bersama," imbuh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.*voi-mn