Kontraksi ekonomi akibat pandemi Covid-19, yang ditambah dengan situasi geopolitik dunia yang berlangsung pada kuartal II-2020 ini, membuat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebagian besar negara di dunia melambat. Perang dagang yang masih berlanjut antara Amerika Serikat dan Tiongkok, pergolakan antara Tiongkok dengan wilayah Hong Kong semakin memberikan tantangan perbaikan ekonomi ke depan. Sementara itu, reopening economy yang mulai dilakukan sejalan dengan stimulus berskala besar, memicu sentimen positif pasar keuangan dan harga komoditas serta aliran modal menuju emerging market. Meskipun demikian, pemulihan ekonomi masih penuh ketidakpastian, salah satunya dibayangi adanya second wave.

Selanjutnya, pelemahan ekonomi domestik menuju skenario yang lebih berat tetap perlu diwaspadai, sebagai akibat dari laju penyebaran Covid-19 yang masih cukup tinggi dan aktivitas ekonomi masyarakat yang mengalami hambatan dan perlambatan, dengan diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di beberapa wilayah. Sementara itu, pasar keuangan domestik relatif membaik dan masih cukup terjaga, namun masih relatif fluktuatif. Keberhasilan penanganan Covid-19 yang dilaksanakan secara optimal dan komprehensif, menjadi faktor penentu untuk menahan perlambatan ekonomi pasca lebaran serta dampak terhadap penerimaan pajak. Respon kebijakan fiskal domestik melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) merupakan upaya Pemerintah untuk menggerakkan perekonomian, melindungi, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan ekonomi pelaku usaha, baik di sektor riil maupun sektor keuangan, termasuk kelompok usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Hal ini disampaikan dalam publikasi APBN Kita edisi Juni 2020.

Pendapatan Negara Hingga Bulan Mei 2020 Masih Tertekan Akibat Pandemi  

Situasi pelemahan ekonomi global dan Indonesia berpengaruh terhadap kinerja pendapatan negara. Sampai dengan akhir bulan Mei 2020, realisasi pendapatan negara dan hibah telah mencapai Rp664,32 triliun, namun capaian pendapatan negara dan hibah tersebut tumbuh negatif 9,02 persen (yoy).

Hampir seluruh jenis pajak utama terkontraksi di Januari hingga Mei 2020 karena kontraksi penerimaan di Mei yang cukup dalam akibat perlambatan kegiatan ekonomi sebagai dampak Covid-19 dan pemanfaatan insentif fiskal dalam rangka pemulihan ekonomi nasional.  Pajak PPh 21, PPh Final, dan PPN DN yang masih tumbuh positif pada bulan Januari hingga April 2020, terkontraksi di Januari hingga Mei 2020. PPh OP hanya mampu tumbuh 0,55%, namun membaik dibandingkan Januari-April yang terkontraksi 0,13%. PPh 21 terkontraksi 28,40% karena insentif PPh 21 DTP. PPh 26 masih tumbuh positif karena restitusi besar di Februari 2019 yang tidak terulang di 2020. Pertumbuhannya jauh melambat dibandingkan Januari sampai April yang tumbuh 28,14%.

Sementara itu, penerimaan seluruh sektor usaha di Januari hingga Mei 2020 tumbuh negatif. Ini berkebalikan dengan Januari-April 2020 di mana Industri Pengolahan dan Jasa Keuangan dan Asuransi masih tumbuh positif. Kegiatan produksi melambat akibat terbatasnya suplai bahan baku impor dan pembatasan kegiatan produksi akibat Covid-19. Volume penjualan barang dan jasa pada berbagai sektor juga sangat tertekan akibat PSBB, menurunnya daya beli, serta perubahan pola spending-saving masyarakat dalam menghadapi pandemi.

Realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai hingga 31 Mei 2020 telah mencapai Rp81,51 triliun, tumbuh 12,15 persen (yoy), terutama berasal dari penerimaan cukai yang tercatat tumbuh 18,54 persen (yoy). Secara lebih rinci, penerimaan cukai terealisasi sebesar Rp66,63 triliun, yang didukung oleh Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Cukai Etil Alkohol (EA) yang masing-masing tumbuh 20,46 persen (yoy) dan 227,28 persen (yoy). Pertumbuhan CHT didorong oleh dampak kebijakan dari kenaikan tarif cukai. Cukai EA masih mengalami peningkatan yang signifikan karena naiknya permintaan EA untuk bahan baku keperluan medis. Sementara itu, meskipun Neraca Perdagangan surplus, terlihat penurunan ekspor impor yang sangat dalam di bulan Mei 2020 yang berdampak signifikan kepada realisasi Bea Masuk dan Bea Keluar. Bea Masuk tumbuh negatif 7,86 persen (yoy), yang disebabkan penurunan devisa bayar 17,47 persen (yoy) dan Bea Keluar tumbuh negatif 27,45 persen (yoy), dampak turunnya aktivitas ekspor tembaga dan kebijakan pelarangan ekspor nikel.

Selanjutnya, realisasi PNBP sampai dengan 31 Mei 2020 mencapai Rp136,9 triliun, tumbuh negatif 13,61 persen (yoy). Lebih rendahnya realisasi PNBP disebabkan oleh SDA Migas yang tumbuh negatif 24,38 persen akibat turunnya rata-rata ICP, penurunan lifting minyak bumi dan gas bumi, serta depresiasi nilai tukar Rupiah. Kemudian, SDA Nonmigas tumbuh sebesar negatif 23,69 persen yang disebabkan penurunan rata-rata Harga Batubara Acuan (HBA), turunnya volume produksi batubara, dan penurunan volume produksi kayu. Sementara itu, Pendapatan dari Kekayaan Negara Dipisahkan (KND) tumbuh negatif 26,79 persen karena adanya pergeseran setoran sisa surplus BI ke pertengahan Juni 2020. Selanjutnya, rendahnya realisasi PNBP KND disebabkan karena belum selesainya RUPS pada sebagian besar BUMN kotributor PNBP dari setoran dividen. Sebaliknya, capaian PNBP lainnya dan pendapatan BLU mengalami pertumbuhan positif. Peningkatan PNBP lainnya ditopang oleh adanya penerimaan akumulasi iuran pensiun. Sementara, peningkatan pendapatan BLU berasal dari penerimaan dari pungutan ekspor kelapa sawit yang tahun sebelumnya tidak ada pungutan dan adanya jasa pelayanan rumah sakit yang meningkat.

Fokus Penanganan Covid-19 Melalui Belanja Negara

Realisasi Belanja Pemerintah Pusat hingga 31 Mei 2020 mencapai Rp537,3 triliun, lebih tinggi 1,2 persen dari realisasi APBN 2019. Peningkatan kinerja realisasi Belanja Pemerintah Pusat tersebut antara lain dipengaruhi oleh realisasi bantuan sosial yang mencapai Rp78,85 triliun atau tumbuh 30,71 persen (yoy). Pertumbuhan realisasi bantuan sosial di tahun 2020 dipengaruhi oleh penyaluran berbagai program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dilakukan Pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19. Sementara itu, berbagai belanja yang tidak terkait penanganan Covid-19 pada Kementerian/Lembaga (K/L) dilakukan penghematan/tertunda pelaksanaannya.

Belanja K/L mencapai Rp270,6 triliun, turun 6,1 persen  dibanding 2019 sebesar Rp288,2 triliun yang tumbuh 24,5%.  Sementara Belanja Bansos tumbuh 30,7 persen (yoy) melalui penyaluran berbagai bantuan sosial untuk mendukung stimulus perekonomian. Belanja Kesehatan termasuk Bansos menjadi yang terbesar berdasarkan tingkat penyerapan, di bulan Mei dengan tumbuh 50,5 persen (yoy).

Komponen belanja K/L lainnya tumbuh negatif, utamanya karena penghematan dan/atau belum terlaksanakan akibat kebijakan PSBB. Untuk belanja barang, terjadi pertumbuhan negatif sebesar 30 persen dan belanja modal tumbuh negatif 7,3 persen. Sementara  itu, belanja pegawai tumbuh negatif 4,2 persen yang salah satunya karena kebijakan tidak memberikan THR pada pejabat eselon I/II dan pejabat negara, serta untuk seluruh pegawai yang dibayarkan hanya komponen gaji pokok.

Realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sampai dengan Mei 2020 mencapai Rp306,60 triliun, yang meliputi Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp277,73 triliun dan Dana Desa Rp28,87 triliun. Realisasi TKDD sampai dengan Mei 2020, tumbuh negatif 5,69 persen (yoy), karena Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah masih berfokus pada penanganan dan penanggulangan dampak pandemi Covid-19. Selain itu juga terdapat pencairan Dana Desa yang disalurkan dalam bentuk Bantuan Sosial (BLT).

Progres Stimulus Fiskal Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional

Pemerintah telah memberikan tambahan belanja stimulus untuk penanganan Covid-19 baik untuk kesehatan, jaring pengaman sosial, dan pemulihan ekonomi nasional. Secara umum, program penanganan Covid-19 masih menghadapi tantangan, baik dari sisi regulasi, administrasi maupun implementasi di lapangan. Namun demikian, mengingat stimulus ini baru awal dan untuk mendorong akselerasi eksekusi serta mendorong efektivitas program perlu terus diupayakan. Di bidang kesehatan, Pemerintah telah memberikan insentif dan santunan tenaga medis, pelayanan kesehatan bagi pasien rawat inap Covid-19 serta penyediaan sarana prasarana di Rumah Sakit rujukan. Selain itu, dana tambahan belanja digunakan pula untuk program pencegahan/pengendalian Covid-19, pelayanan laboratorium, kefarmasian dan alat kesehatan, serta pengelolaan limbah medis dan penyebarluasan informasi terkait kesehatan. Selanjutnya, dalam rangka menyediakan Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net), Pemerintah telah merealisasikan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp19,1 triliun, kartu sembako sebesar Rp17,2 triliun, kartu prakerja sebesar Rp2,4 triliun, bansos sembako sebesar Rp1,4 triliun, dan bansos tunai sebesar Rp11,5 triliun. Sementara itu, beberapa regulasi untuk mendukung program UMKM, Pembiayaan Korporasi dan Dukungan Pemda masih dalam proses penyelesaian, sehingga belum dapat diimplementasikan secara optimal.

Menjaga Keberlanjutan Fiskal di tengah Ketidakpastian Kondisi Global Maupun Domestik

Keberlanjutan fiskal di tahun 2020 diharapkan akan tetap terjaga. Realisasi defisit APBN hingga Mei 2020 mencapai Rp179,62 triliun atau sekitar 1,07 persen PDB. Sementara itu, keseimbangan primer hingga Mei 2020 berada di posisi negatif Rp33,92 triliun. Realisasi pembiayaan anggaran hingga Mei 2020 mencapai Rp356,05 triliun, utamanya bersumber dari pembiayaan utang sebesar Rp360,66 triliun. Realisasi pembiayaan utang tersebut terdiri dari realisasi Surat Berharga Negara (SBN neto) sebesar Rp344,99 triliun dan realisasi Pinjaman (neto) sebesar negatif Rp8,31 triliun.

Kondisi pasar SBN periode Mei ini memberikan angin segar di tengah pandemi. Tren incoming bid mulai naik kembali semenjak akhir April hingga lelang terakhir, khususnya untuk lelang SUN sejak penurunan yang cukup signifikan akibat pengaruh Covid-19 pada bulan Maret. Pelonggaran lockdown dan mulai kembalinya aktivitas perekonomian di berbagai negara maju, turut menggiring sentimen positif pada pasar dan memberikan optimisme investor untuk kembali masuk ke aset pendapatan tetap hingga aset berisiko. Hal ini berdampak pada kembalinya arus modal asing ke Tanah Air dan penurunan tingkat imbal hasil (yield) yang menjadi acuan pasar. Yield SBN domestik 10 tahun di pasar sekunder berangsur turun, saat ini sudah mendekati posisi yield pada awal tahun 2020. Begitu pula perkembangan yield SBN Valas tenor 10 tahun membaik dan turun 11,9 persen dibandingkan awal tahun. Hal ini sejalan dengan mulai masuknya kembali investor asing ke pasar SBN di bulan Mei dan Juni 2020.

Dalam menangani pandemi Covid-19 serta pemulihan ekonomi nasional dibutuhkan pembiayaan yang cukup besar. Namun demikian, Pemerintah senantiasa menjaga pemenuhan aspek kehati-hatian (prudent) dan akuntabel serta dimanfaatkan untuk kegiatan produktif dalam memperoleh pembiayaan utang.**rf