Lembaga pendidikan milik Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menyatakan mundur dari Program Organisasi Penggerak (POP) yang diinisiai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Proyek hibah yang menghabisakan dana Rp 595 Miliar itu pun menuai banyak sorotan. Apalagi itu terjadi di tengah krisis akibat pandemi Covid-19.

Menanggapi hal itu, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mendesak mendikbud Nadiem Makarim untuk memahami alasan mundurnya organisasi besar yang sudah sangat lama bergerak di dunia pendidikan tersebut, seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dan PGRI.

Makarim Mendikbud

“Sebaiknya segera lakukan introspeksi dan tinjau kembali keputusan pemberian dana POP kepada ormas-ormas itu,” ujar Bamsoet kepada wartawan.

Bamsoet juga mendorong Kemendikbud bersama DPR RI agar terlebih dahulu menetapkan anggaran, sasaran, dan juga target POP secara jelas dan sistematis.

“Sehingga seluruh tahapan program dapat berjalan proporsional dan sesuai dengan kebutuhan pendidikan di Indonesia, khususnya untuk pelatihan dan peningkatan kualiatas guru,” katanya.

Mendorong pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud dapat mengkaji ulang POP. Termasuk adanya trasparansi dalam program tersebut. Sehingga tidak menimbulkan polemik lagi.

“Jadi selalu mengedepankan transparansi dalam memilih lembaga dan perusahaan yang terlibat dalam POP,” pungkasnya.

‎Diketahui, POP merupakan program pelatihan dan pendampingan bagi para guru untuk meningkatkan kualitas peserta didik dengan menggandeng banyak organisasi. Dari 4.464 ormas yang mengajukan proposal, terdapat 156 ormas yang lolos seleksi evaluasi.

Organisasi yang terpilih akan mendapat hibah untuk menunjang program yang mereka ajukan. Kemendikbud membaginya menjadi kategori III yakni Gajah dengan bantuan maksimal Rp 20 miliar, kategori Macan sebesar Rp 5 miliar, dan Kijang Rp 1 miliar per tahun. Target program ini adalah dua tahun.

Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation menjadi dua organisasi yang terpilih kategori Gajah. Keputusan ini menjadi polemik lantaran kedua perusahaan tersebut masuk dalam program CSR yang tak seharusnya didanai pemerintah.***