Saan Mustopa mengatakan bahwa masalah dinasti politik bukanlah sebuah fenomena baru. Saan menyampaikan, sejak Pilkada langsung dimulai yakni pada tahun 2005, di mana sudah terjadi 4 putaran Pilkada langsung, persoalan dinasti politik sudah terjadi sejak Pilkada langsung pertama itu dilaksanakan.
Saan Mustopa

"Fenomena dinasti politik juga tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain yang demokrasinya jauh lebih maju dibandingkan negara Indonesia. Hanya bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk membentengi agar praktek politik dinasti ini tidak mereduksi kualitas personal si calon pemimpin itu sendiri," ucap Saan di Media Center DPR RI, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/7/2020).

Ada beberapa catatan penting bagi Saan Mustofa terkait hal tersebut. Yang pertama yaitu terkait masalah kepartaian politik di Indonesia. Ia menegaskan, sumber utama lahirnya kepala kepala daerah, sistem rekrutmennya berada di tangan partai politik.

"Partai politik dalam menjalankan fungsi rekrutmen politik, baik di eksekutif maupun legislatif, turut mempengaruhi muncul atau tidaknya dinasti politik. Kedepan proses rekrutmen politik yang dilakukan oleh partai-partai politik itu menjadi bagian penting yang harus dipikirkan bersama. Kalau memang hal ini tidak bisa dihindari oleh partai politik, minimal tidak mengabaikan apa yang namanya kompetensi seorang calon. Tidak ujug-ujug seketika orang yang tidak punya track record politik ataupun pernah mengemban jabatan-jabatan publik muncul sebagai calon," tandasnya.

Selain soal rekrutmen, sambung Saan, hal ini juga terkait dengan Undang-Undang Pilkada. Berdasarkan pengalaman dari Pilkada langsung tahun 2005 hingga sekarang, proses untuk mendapatkan dukungan maju sebagai calon kepala daerah, dengan syarat 20 persen, bagi gubernur, bupati dan wali kota, dengan kondisi negara kita yang multi partai ini, maka distribusi suara dan kursi hasil pemilu sangat tipis sekali karena distribusinya terbagi ke banyak partai.

Hal ini tentu menyulitkan si calon untuk mendapatkan proses dukungan politik karena terlalu banyak partai dan hal itu menjadi tidaklah gampang. "Disadari atau tidak, untuk mendapatkan dukungan yang rumit karena dari banyak partai, ada juga yang namanya pasar gelap, yang notabene masalah pasar gelap ini tidak diatur dalam UU Pilkada. Karena UU Pilkada hanya mengatur ketika seorang sudah ditetapkan sebagai calon. Tetapi untuk mendapatkan dukungan politik hal itu tidak diatur dalam UU Pilkada,” tambahnya.

Keberadaan pasar gelap ini, lanjut Saan, juga akan mempersulit situasi bagi munculnya calon-calon kepala daerah yang memiliki kualifikasi yang memadai untuk menjadi kepala daerah. Bahkan dengan kondisi multi partai ini maka diperlukan biaya atau cost yang tinggi untuk mendapatkan dukungan politik.

“Oleh karenanya bagaimana ke depan kita perlu memikirkan UU Pilkada ini yang ramah bagi calon-calon kepala daerah yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas politik yang memadai serta memiliki komitmen yang tinggi yang terkait dengan kepentingan masyarakat banyak itu mempunyai kemudahan dalam proses pencalonan dirinya tersebut," ujar politisi Fraksi Partai NasDem itu.

Saan berharap, kedepan syarat dukungan untuk menjadi kepala daerah bisa diturunkan tidak di angka 20 persen tetapi cukup 10 persen saja. Menurutnya, selain akan memudahkan dan memberi kesempatan bagi orang yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah tetapi juga membuka ruang bagi orang untuk tampil dan juga memberi kesempatan bagi pemilih atau masyarakat di daerahnya untuk mencari pemimpin yang terbaik diantara banyak pilihan.

"Undang-undang Pilkada harus ramah kepada calon-calon potensial yang mempunyai rekam jejak politik yang memadai, mempunyai komitmen yang tinggi dan juga mempunyai kapabilitas untuk memimpin sebuah daerah," pungkasnya.**Ts