Gelaran pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 rencananya akan berlangsung pada Desember 2020. Kontestasi politik di tengah pandemi COVID-19 yang masih terjadi ini juga dikhawatirkan semakin membuka peluang pada penayalahgunaan anggaran.
Dosen Tata Pemerintahan Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Bambang Eka Cahya mengatakan persoalan penyalahgunaan anggaran publik untuk kepentingan politik bukan hal baru. Kasus tersebut adalah kasus yang sudah lama ada dan selalu terulang di setiap Pemilu atau Pilkada. Anggaran publik yang disalahgunakan untuk peserta Pilkada adalah yang paling sering dikeluhkan.
Pilkada
"Ini yang disebut dengan politik gentong babi yaitu menggunakan anggaran publik sedemikian rupa untuk kepentingan politik, untuk mendapatkan keuntungan politik termasuk dukungan dengan cara membeli suara rakyat," kata Bambang Eka Cahya pada acara Forum Diksusi Wartawan DPRD DIY dengan tema "Pengawasan Anggaran Pemerintah Yang Rawan Dimanfaatkan Untuk Kepentingan Pilkada," di Cafe Tarumartani Yogyakarta, Sabtu (29/8), seperti demikan tulis elshinta.
Ia mencontohkan, praktek politik gentong babi yang paling sering dilakukan seperti pemberian bantuan pada masyarakat dengan menggunakan biaya negara. Penggunaan mobil dinas untuk kepentingan kegiatan politik peserta Pilkada. Dalam hal ini cukup banyak peluang penggunaan anggaran baik di APBD maupun di APBN.
Bukan persioalan baru. Itu persoalan lama. Selalu jadi keluhan. Dn keluhanya anggaran publik disalhgunakandimagtkan utk politik peserta pilkada. Ada bnyak peluang di and maupun apnn kt utkdisalhgunakan Kepentingan pilkada.
Politik gentong babi yaitu gunakan anggaran publik sedemikian rupa untuk kepentingan politik untuk mendapatkan keuntungan politik termasuk. Dukungan untuk membeli suara rakyat. Politik gentong babi ini dalam prakteknya sangat menguntungkan bagi petahana atau yang dapat dukungan dari petahana.
"Untuk menyelesaikan persoalan ini, harus ada kesepakatan politik atau political will dari para elit untuk bagaimana mengatasi penyalahgunaan anggaran publik untuk kepentingan politik," katanya.
Pihaknya juga menyinggung tentang gagalnya pengkaderan di partai politik. Pengkaderan itu memang jadi masalah serius. Karena banyak sebenarnya kader-kader potensial di partai, namun karena tidak punya uang maka tidak terpakai di partainya. Padahal orang sudah susah payah mengabdi dan bekerja pada partai namun tidak menjadi pilihan. Banyak kasus, kader yang disingkirkan dan harus diganti dengan orang yang kuat membayar.
"Kaderisasi di partai politik ya bisa dibilang gagal, karena memang patai politik tidak menjalankan fungis itu untuk memunculkanya kader-kadernya," imbuhnya.
Sementara itu, Ombusdman RI perwakilan DIY, Budi Masthuri mengatakan bahwa Pilkada di era normal pun potensi penyalahgunaan anggaran publik itu cukup besar apalagi di masa pandemi COVID-19 saat ini. Ada tiga hal terkait penyalahgunaan dana publik yang berpotensi untuk terjadinya mall administrasi dalam pelayanan publik.
Pertama, penyalahgunaan anggaran yang terjadi jauh sebelum Pilkada. Sebelum masuk tahapan Pilkada banyak pelayana publik digunakan untuk media sosialisasi seperti baliho, spanduk dan sebagainya. Ada juga safari-safari kunjungan. "Dan kecenderunganya memang potensial pekunya bakal-bakal calon yang berasalan dari incumbent," katanya.
Kedua, netralitas ASN dalam pelayanan juga menjadi isu krusial. Seperti adanya ASN-ASN yang dimobilisasi untuk deklarasi. Dan ketika mobiliassi itu gunakan mobil dinas dan gunakan dana perjalan dinas.
"Potensi penyalahgunaan yang berpotensi menimbulkan mall administrasi juga bisa terjadi pada masa pandemi seperti ini yaitu penyaluran bantuan-bantuan sosial menggunakan dana publik, namuntasnya ada gambar calon tertentu, atau bantuan hanya diberikan pada konstituenya atau pendukungnya saja," jelasnya.**#