Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) meminta pemerintah menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Beberapa hal melatarbelakanginya, seperti isinya cenderung pro investor.

Logo KNPI

"Kami melihat RUU ini merupakan RUU yang pro konglomerasi," ujar Ketua Organisasi DPP KNPI, Syarif Ahmad, saat dihubungi, Jumat (21/8). "Ada hal-hal prinsip yang diabaikan dan justru akan menjadi masalah krusial di masa depan (jika disahkan)."

Dicontohkannya dengan otoritas lebih kepada pengusaha dalam kontrak kerja. Ini berpotensi mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK).

Kemudian, menyangkut durasi pekerjaan. Menurutnya, ada indikasi pekerjaan buruh ke depan akan terkondisikan melalui perjanjian kerja yang sifatnya per jam.

"Di mana waktu istirahat yang semakin sempit dengan kewajiban bekerja selama enam hari dan hanya memiliki waktu libur sehari," sambung Ahmad.

KNPI pun meminta pemerintah mendengarkan aspirasi publik, khususnya pihak-pihak berkepentingan (stakeholder). Para buruh, misalnya.

"Jangan konsultasi dan hanya terima masukan dari investor atau asosiasi pengusaha saja, tapi mesti membuka dialog akademis dengan berbagai pihak dari kelompok buruh, aktivis lingkungan, dan lain-lain," paparnya.

Meski demikian, dirinya mengakui, pemerintah berupaya menggenjot perekonomian melalui beleid sapu jagat (omnibus law) tersebut. Namun, semestinya tidak mengabaikan kesejahteraan buruh dan lingkungan.

"Jangan beri 'karpet merah' bagi investasi bila pada akhirnya kesejahteraan buruh hanya sekadar slogan dan aspek sustainability lingkungan diabaikan," tegasnya.

"Kita butuh investasi dan industri untuk meningkatakan devisa negara, tapi pemerintah harus arif dan bijak dengan menyusun RUU yang adaftif dengan kebutuhan zaman, bukan justru memupuk kapitalisme global tumbuh subur," tutup Ahmad.***Alinea