Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap kepala dinas atau pejabat tinggi pemerintah daerah kerap menjadi tim sukses (timses) tidak resmi untuk mendanai calon kepala daerah yang bertarung di pilkada.

Kepala dinas yang notabene berstatus aparatu sipil negara (ASN) itu mensponsori salah satu calon agar posisinya aman atau bahkan meminta jabatan lain yang dinilai lebih baik.

"Ada harapan dari sponsor ke calon. Ternyata kepala dinas, kepala badan, yang jadi timses petahana dan dia ikut memobilisasi dana supaya calonnya terpilih. Dan mereka minta supaya naik jabatan atau agar jabatannya di dinas yang bergengsi," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan dalam diskusi mengenai netralitas ASN yang digelar KASN, Rabu (5/8).

Temuan itu didapat KPK setelah melakukan survei kepada 466 calon kepala daerah yang gagal terpilih pada tiga pilkada yakni 2015, 2017, dan 2018. Dari kajian itu, komisi antirasuah menyatakan lebih dari 80% calon kepala daerah mendapat donatur untuk membiayai kampanye.

Sebagian donatur justru diketahui berasal dari kalangan ASN pemda setempat, khususnya yang memiliki jabatan tinggi. Para ASN tersebut kemudian meminta balas jasa jika calon yang didukungnya terpilih.

"Yang kita percayai tidak ada makan siang gratis. Kalau Anda (calon) menang, janji ke sponsornya dipenuhi tidak? Sebanyak 83% bilang akan saya penuhi. Jadi kira-kira kalau terpilih dia bilang janji ke sponsornya akan dipenuhi," ucap Pahala.

Pahala membeberkan beberapa area rawan korupsi terkait dukungan kepala dinas kepada calon kepala daerah. Selain memobilisasi dukungan berupa dana, kepala dinas juga bisa memberikan sponsor dalam soal pengadaan dan perizinan.

KPK memetakan beberapa dinas daerah yang rawan terjadi mobilisasi dukungan tersebut ialah Dinas PU, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas ESDM, dan Badan Pendapatan Daerah.

KPK pun menyatakan temuan-temuan tersebut menjadi alarm bagi netralitas ASN menghadapi pilkada serentak 2020 yang akan digelar Desember mendatang,demikan tulis Media Indonesia.

"Yang kita baca, netralitas ASN dalam kasus ini pejabat eselon II, kepala dinas, kepala badan, sekda, bahwa netralitas itu susah. Terbukti dari 80% mereka bukan hanya tidak netral tapi juga secara khusus memobilisasi dukungan dalam bentuk dana dan donasi ke calon yang dipilih. Iming-imingnya mempertahankan jabatan, naik jabatan, atau pindah ke BUMD," ujar Pahala.**