Menteri BUMN Erick Thohir menolak dirinya disuntik vaksint covid-19. Alasannya, dia memilih rakyat lebih dahulu untuk divaksin. Penolakan ini mengundang komentar dari dosen komunikasi Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah.
Foto : ilustrasi

Kata dia, penolakan ini akan ditafsirkan secara beragam oleh rakyat. Jika tokoh utama dalam pengadaan vaksin saja menolak disuntuk, apalagi yang lain.
“Pesan moral dari penolakan ini buruk, karena publik akan menilai jika tokoh utama dalam pengadaan vaksin saja tidak bersedia menjadi relawan, tentu akan ditafsir beragam," ujarnya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (9/8).
Terlepas dari itu, Dedi menilai bahwa pemerintah tidak harus merekrut relawan secara khusus untuk uji vaksin. Karena, pemerintah bisa langsung mengajukan para pasien yang telah terpapar Covid-19.
"Mereka (pemerintah) bisa saja mengajukan para pasien yang telah terpapar, tentu dengan jaminan tanggungjawab penuh ada di pemerintah," kata Dedi.
Sementara, aktivis Perhimpunan Masyarakat Madani (Prima), Sya'ron menilai penolakan ini cenderung retoris. Dia menyebut lebih baik Erick mengatakan alasan yang jujur terkait penolakan itu.
"Seharusnya bila tidak bersedia lebih baik terang saja. Tidak perlu muter-muter cari alasan," kata dia Sabtu (8/8).
Menurut Sya'roni, sejatinya keengganan Erick menjadi relawan sangat manusiawi. Karena vaksin tersebut belum teruji kehandalannya. Maka segala kemungkinan bisa saja terjadi, termasuk kemungkinan kegagalannya.
Pada sisi lain, Erick adalah tokoh muda yang sedang bersinar karirnya. Dalam 10 tahun terakhir ini, grafik karirnya terus menanjak. Dimulai dengan kepemilikan klub raksasa Inter Milan, dilanjut sukses sebagai Ketua Panitia Asian Games, diteruskan sukses sebagai Ketua Timses Jokowi-Maruf, dan akhirnya saat ini sukses menduduki kursi Menteri BUMN.
"Bila mengikuti tren grafiknya, bukan tidak mungkin Erick akan menjadi Capres atau setidaknya Cawapres di masa yang akan datang," ujar Sya'roni.
Dengan segudang prestasi dan peluang menjadi Capres atau Cawapres sangat terbuka lebar, lanjut Sya'roni, maka wajar jika Erick menolak menjadi relawan uji coba vaksin.
"Vaksin tersebut belum teruji kehandalannya. Bila di kemudian hari berdampak buruk terhadap tubuh manusia, maka sirna pula harapan-harapannya untuk meniti karir politik yang lebih tinggi," pungkasnya.