Semenjak disahkan oleh DPR RI pada 5 Oktober 2020 lalu, gelombang aksi penolakan Omnimbus Law UU Cipta Kerja yang dilakukan mahasiswa dan buruh hingga saat ini belum surut.

Bahkan, beberapa hari yang lalu massa menuntut Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Perppu untuk membatalkan pengesahan UU Cipta Kerja ini.

Selain isi dari UU Cipta Kerja yang diprediksi membuat buruh dan para pekerja kesulitan, mekanisme pengesahannya pun cukup banyak dipertanyakan oleh sejumlah orang.

Khususnya saat terjadi perubahan beberapa kali yang mengubah halaman dari UU Cipta Kerja meski Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia telah 'mengetuk palu'.

Menanggapi polemik penolakan Omnimbus Law UU Cipta Kerja, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD akhirnya buka suara.

Dikutip dari akun Youtube Karni Ilyas Club yang diunggah pada Minggu 18 Oktober 2020 Mahfud MD mengaku bahwa ia memiliki empat draf UU Cipta Kerja dengan halaman berbeda.

"Di eksekutif sendiri saya punya empat itu di meja saya (draf, RUU Cipta Kerja) karena memang semula itu Undang-Undangnya ya 900 sekian lah, sesudah beredar di masyarakat diprotes berubah menjadi menebal, diprotes lagi berubah lagi sehingga yang versi pemerintah pun sudah beberapa kali diubah sebelum masuk ke DPR," ujarnya.

Terkait tambahan halaman pada Omnibus Law usai adanya ketuk palu, Mahfud MD menegaskan bahwa sebenarnya alasan tersebut harus dijawab oleh DPR sendiri.

Demo buruh

"Sesudah masuk ke DPR juga kan sudah ada berubah pasal 170 diubah, pasal ini diubah terus diubah jadi panjang. Memang yang agak serius bagi saya yang harus dijawab DPR itu, sesudah palu diketuk itu apa benar sudah berubah atau hanya soal teknis," tuturnya.

Menurut kabar yang ia dengar, perubahan halaman pada UU Cipta Kerja disebabkan oleh adanya editing pada redaksi seperti ukuran font dan spasi.

"Benar apa tidak nanti bisa dicocokkan saja, kan mestinya ada dokumen untuk mencocokkan itu. Kalau terpaksa juga itu misalnya benar terjadi, itu kan berarti cacat formal," ujarnya.

Jika terbukti cacat formal, Mahfud MD mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) bisa membatalkan UU Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR.

Artikel ini telah tayang sebelumnya di pikiranrakyat.com dengan judul:

"Kalau cacat formal itu Mahkamah Konstitusi bisa membatalkan dan MK waktu zaman saya pernah membatalkan seluruh Undang-Undang badan hukum pendidikan. Waktu itu hanya diuji tiga pasal tapi karena formalitasnya salah kemudian jantungnya juga kena, kita batalkan semua satu Undang-Undang badan hukum pendidikan itu," ujarnya.

Namun Mahfud tetap menegaskan bahwa semua alasan dibalik pengesahan UU Cipta Kerja sebenarnya hanya DPR yang dapat menjawab.

"Itu bisa saja Mahkamah Konstitusi melakukan itu (pembatalan UU Cipta Kerja, red). Oleh sebab itu DPR-lah yang harus menjelaskan sesudah ketuk palu itu apa yang terjadi, itu sudah di luar pemerintah," tambahnya.

Mahfud pun membahas mengenai isu demonstrasi yang cukup memanas di beberapa kota besar.

Berdasarkan keterangannya, para intelijen pemerintah sebelumnya telah memprediksi bahwa pengesahan RUU Cipta Kerja dapat membuat kerusuhan di sejumlah tempat.

"Sebenarnya sebelum peristiwa itu terjadi, aksi-aksi itu terjadi, kita sudah mendapat gambaran apa yang akan terjadi dari intelijen itu. Kita dapat laporan akan terjadi ini, itu, ada pertemuan si A, si B bilang begini, ini saksinya, buktinya sehingga kita sudah tahu ini akan ada kerusuhan."

Hal tersebut kemudian membuat pemerintah mengantisipasinya dengan melakukan beberapa hal.

"Oleh sebab itu yang harus diantisipasi kerusuhannya dan sudah diantisipasi masih terjadi juga dan itu bukan dibuat-buat seperti yang terjadi di dekat HI, dekat Sarinah ada dua kan itu yang terbakar, pos polisi terbakar dan sebagainya," tambahnya.

Dalam kesempatannya tersebut, Mahfud mengatakan bahwa unjuk rasa 'murni' dengan tidak sebenarnya dapat dibedakan dengan jelas.

"Sehingga kita lalu pada waktu itu sudah mengatakan, beda kan ya orang yang aksi unjuk rasa (murni, red), yang murni itu kan ada aturannya," tuturnya.***