Wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) dikembalikan lagi melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terjadi pada tahun 2012. Salah satu alasannya, banyak pihak mempertanyakan apakah pilkada langsung lebih baik dari melalui DPRD dan biaya mengikutinya cukup besar.

“Sama-sama uangnya boros. Yang DPRD borongan. Kalau pemilihan langsung eceran. Money politics itu rakyat dikumpulkan lalu dikasih amplop,” ujar Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD dalam Konferensi Nasional Ilmu Sosial dan Politik, Rabu (14/10/2020).

Dia menceritakan pada tahun 2012, dirinya pernah mengikuti seminar yang dihadiri Menkopolhukam saat itu Djoko Suyanto, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi, dan Komisi Pemilihan Umum. Kesimpulan seminar itu, pilkada akan melalui DPRD kembali.

Pilkada

Mahfud mengungkapkan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) di Cirebon juga meminta pemerintah menghentikan pilkada langsung. Beberapa petinggi Muhammadiyah pun menyampaikan hal yang sama.

Gamawan Fauzi, menurutnya, kemudian merancang Undang-Undang (UU) Pilkada yang baru. DPR pun menyetujui UU tersebut. Namun, angina politik berubah dengan cepat.

Pangkalnya, ada pada Pertarungan pemilihan presiden (pilpres) 2014. Jokowi yang terpilih sebagai presiden, kekuatanya di parlemen minoritas. Sementera itu, koalisi yang mengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menguasai hampir 60 persen kursi parlemen.

“Nanti pemerintah enggak stabil. Pada waktu itu analisisnya (begitu). Kalau begitu Jangan pemilihan DPRD, nanti DPRD dan eksekutif goncang karena yang satu dikuasai koalisi Prabowo dan Jokowi di eksekutif,” paparnya.

UU tetap disahkan DPR dan bola ada ditangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Karena tingginya tekanan masyarakat sipil juga, akhirnya SBY mengambil jalan tengah. UU tersebut ditandatangani pada 29 September 2014. Pada 2 Oktober 2014, SBY mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Mahfud menjelaskan alasan mengembalikan pilkada ke DPRD saat itu, salah satunya, pilkada langsung tidak melahirkan pemimpin daerah yang baik. Dia mengutip mantan pakar otonomi daerah Ryaas Rasyid yang menyatakan setiap pilkada masyarakat di kampungnya menunggu serangan fajar.

“Kemendagri menyatakan 61 kepala daerah terlibat kasus korupsi. Apa yang terjadi itu karena biaya pilkada mahal. Menurut data KPK 82 persen, pemilihan itu disponsori oleh orang lain, cukong,” pungkasnya.****