Besar atau kecil nilainya, sama saja. Kalau sudah menjadi hak, seberapa pun nilainya tetap harus diperjuangan. Semangat inilah yang terus dibangun oleh Tim Pelayanan dan Pelindungan Warga (Yanlin) KJRI Jeddah dalam melindungi hak-hak Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Tenaga kerja Migran di KJRI

Sebut saja PMI berinisial ESMO yang bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) di Provinsi Jizan. Perempuan asal Bandung Jawa Barat ini telah 12 tahun bekerja dengan upah terakhir per bulan sebesar 1500 riyal atau sekitar Rp. 5,8 juta.

Saat melakukan pembaharuan Perjanjian Kerja (PK) dan paspor Minggu 11 Oktober 2020 di KJRI Jeddah, ESMO yang kala itu ditemani majikan mengaku masih ada sisa gaji yang masih ditunggak sebesar 16 ribu atau sekitar Rp. 62 juta lebih. Kepada petugas saat menjalani BAP, ESMO menuturkan majikannya akan memberikan gaji kalau diminta. Itu pun terkadang tidak dibayar penuh 1500 riyal.

“Kadang dikasih seribu,” ucap ESMO kepada petugas yang melakukan Berita Acara Pemeriksaan sebelum memproses permohonan pembaharuan PK dan paspor .

Akhirnya, petugas memanggil majikan untuk mengklarifikasi apakah betul masih ada sisa gaji yang belum dibayar. Majikan mengakui hal itu. Namun, dia belum bisa melunasinya saat itu, lantaran dia tidak membawa uang tunai. Dia berjanji akan kembali keesokan harinya untuk memenuhi kewajibannya terhadap pembantunya itu.

“Alhamdulillah, hari ini majikan memenuhi janjinya. Kami pun menyelesaikan sesuai prosedur yang berlaku dan membantu memfasilitasi PMI tersebut untuk membuat rekening Bank BNI atas namanya sendiri,” ujar Mochamad Yusuf, Konsul Tenaga Kerja KJRI Jeddah.

Oleh karena itu, KJRI Jeddah mengimbau kepada seluruh PMI agar tidak sekali-kali membiarkan haknya dipegang majikan. Sebab, seringkali uang gaji yang dititipkan kepada majikan sulit diminta kembali. Bahkan, nilai atau besaran pun bisa berubah bila tidak didasari bukti tertulis.

KJRI Jeddah juga mengingatkan agar PMI melakukan pembaharuan paspor dan PK bila ingin tetap bekerja dengan majikan. Tujuannya agar KJRI Jeddah bisa mengenali majikan sekaligus mengikat kedua belah pihak dengan PK, terkait hak dan kewajiban pekerja dan majikan. PK ini bisa dijadikan landasan untuk mengajukan penuntutan ke pengadilan ketika terjadi wanprestasi dari pihak majikan.

Jadi, mengurus hak PMI tidaklah selalu berjalan mulus. Tidak jarang petugas harus bersitegang dengan pengguna jasa (majikan) untuk mencapai kesepakatan. Bahkan, kalau kasusnya bergulir hingga pengadilan, proses penyelesaiannya bisa berbelit-belit.

“Namun demikian, yang namanya hak seberapa pun nilainya, tetap harus diperjuangkan, meskipun banyak tantangan,” ujar Konjen RI Jeddah, Eko Hartono, pada suatu kesempatan. ***Fauzy Chusny