UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 mengubah ketentuan tentang pemutusan hubungan kerja ( PHK) antara pengusaha dan pekerja.

Pengubahan ketentuan itu diatur dalam Pasal 81 angka 37. Aturan ini mengubah ketentuan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.

Pasal 151 Ayat (1) menyebutkan bahwa PHK sebisa mungkin tidak terjadi.

Namun, Pasal 151 Ayat (2) menyebut, jika PHK tidak dapat dihindari, pengusaha harus memberitahukan alasannya kepada pekerja/buruh.

Kemudian, Pasal 151 Ayat (3) menyebutkan bahwa pekerja/buruh menolak alasan tersebut, wajib ada perundingan bipartit dan jika tidak ada kesepakatan baru bisa terjadi PHK ketika ada penetapan perselisihan hubungan industrial (PHI).

Hal ini mengubah Pasal 151 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang mengatakan bahwa PHK tidak dihindari, perusahaan wajib merundingkan dengan pekerja, atau bukan sekadar memberi tahu alasan ia di-PHK.

Selanjutnya, Pasal 151 Ayat (3) berbunyi, jika tidak ada persetujuan, PHK hanya bisa dilakukan jika ada penetapan dari lembaga PHI.

Pengajar Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Nabiyla Izzati menilai, klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja disusun dengan logika hukum yang keliru.

Hal ini tercermin dari pengubahan ketentuan PHK ini.

Menurut Nabiyla, pengubahan pasal tersebut menunjukkan kekeliruan pemerintah dalam memandang relasi antara pekerja dan pengusaha.

Dengan pengubahan pasal ini, maka pengusaha dapat melakukan PHK secara sepihak.

Sebab, belum tentu pula pekerja dapat melakukan penolakan atas pemberitahuan hubungan kerja oleh perusahaan.

"Kalau negara bersikap netral, maka secara tidak langsung negara sebenarnya sedang meninggalkan perannya untuk melindungi pekerja dan melindungi pengusaha," kata Nabiyla, Jumat (16/10/2020).***