Presiden Konferensi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan bahwa ada banyak pasal yang dapat merugikan serikat buruh yang ditemukan di dalam UU Cipta Kerja. Salah satunya mengenai ketentuan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

Said Iqbal mengatakan, UU Cipta Kerja menghapus ketentuan batas periode PKWT atau pekerja kontrak. Akibatnya, pengusaha nantinya berpeluang mengontrak pekerja berulang kali tanpa batas periode atau kontrak seumur hidup.

Hal itu tentu menghilangkan harapan dan kesempatan kaum buruh atau pekerja untuk diangkat menjadi karyawan tetap.

Menanggapi hal tersebut, Kantor Staf Kepresidenan menekankan tidak ada penerapan "Karyawan Kontrak Seumur Hidup" dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Tenaga Ahli Utama Kedeputian III Kantor Staf Presiden, Fajar Dwi Wisnuwardhani mengatakan, dalam UU Cipta Kerja yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut, PKWT masih dibatasi waktunya.

Bahkan, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga telah menekankan hal tersebut tertuang dalam Pasal 56 ayat 4 UU Cipta Kerja.

Dalam pasal tersebut dijelaskan ketentuan lebih lanjut mengenai PKWT berdasarkan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

"Siapa bilang PKWT seumur hidup? PKWT masih dibatasi waktunya dan akan ditentukan melalui PP," kata Fajar Dwi Wisnuwardani di Jakarta, Rabu, 4 Oktober 2020, yang dikutip dari Antara.

Fajar mengatakan, dalam hal pembatalan PKWT karena adanya masa percobaan, selain batal demi hukum, UU Cipta Kerja juga melegalkan penghitungan masa kerja yang sudah dilakukan.

Penjelasan ini dapat dilihat pada Pasal 58 Ayat 2 yang berbunyi, "Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat 1, masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung".

Di sisi lain, pemerintah juga meminta masyarakat tidak khawatir terhadap persoalan pesangon. UU Cipta Kerja juga tetap menerapkan sistem pesangon bagi pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Fajar mengatakan, dalam Pasal 61A UU Cipta Kerja dijelaskan bahwa pekerja PKWT bisa mendapatkan kompensasi yang perhitungannya mirip dengan pesangon.

Seperti diatur pada Pasal 61A Ayat 1 yang berbunyi, "Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 Ayat 1 huruf b dan huruf c, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja/buruh".

Hal itu juga ditegaskan kembali pada Pasal 61A ayat 2 yang berbunyi, "Uang kompensasi sebagaimana dimaksud pada Ayat 1, diberikan kepada pekerja/buruh sesuai dengan masa kerja pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan".

Sebagai tambahan, pada Pasal 61A Ayat 3 menjelaskan bagaimana uang kompensasi tersebut akan diatur kembali dalam PP.

Fajar menjelaskan, UU Cipta Kerja justru dapat menjadi payung hukum untuk memberikan sanksi bagi pemberi kerja yang tidak membayar pesangon pekerjanya.

Dalam Pasal 185 UU Cipta Kerja dijelaskan akan ada pidana bagi yang tidak membayar pesangon.

Bahkan menurutnya, pekerja bisa meminta PHK dengan pesangon, jika ada masalah dengan pelanggaran norma kerja oleh pengusaha sebagaimana diatur dalam Pasal 154A ayat g.

Selain itu, Fajar menyatakan, UU Cipta Kerja menjamin masyarakat yang kehilangan pekerjaan dapat segera masuk lagi dalam dunia kerja.

"Ini dilakukan melalui pelatihan dan konseling, serta tentu saja cash benefit yang nilainya diperhitungkan berdasarkan upah terakhir," ujar Fajar.

Menurutnya, struktur dan skala upah menjadi hal yang wajib dalam UU Cipta Kerja. Sehingga bisa meningkatkan produktivitas dan kompetisi yang sehat di antara pekerja sesuai dengan Pasal 92 UU Cipta Kerja.***