Badan Pemeriksa Keuangan [BPK] menemukan ada 9,85 juta peserta BPJS Kesehatan dengan Nomor Induk Kependudukan [NIK] yang tidak valid per 31 Desember 2019.

Peserta dengan identitas tidak valid ini berpotensi membebani keuangan BPJS Kesehatan, meski tidak diungkap berapa estimasi bebannya.

Mengutip CNNIndonesia.com, Auditor Utama Keuangan Negara VI BPK Dori Santosa mengatakan temuan ini berasal dari hasil audit pemeriksaan lembaga kepada BPJS Kesehatan sepanjang tahun lalu.

Dia menyatakan temuan seperti ini sudah terjadi sejak 2015 dan celakanya masih terus berulang hingga 2019.

“Ada pemutakhiran data dan persyaratan BPJS Kesehatan yang belum optimal, kondisi ini mengakibatkan jumlah peserta aktif yang tidak valid identitas atau NIK-nya sebanyak 9,85 juta. Ini berpotensi membebani keuangan BPJS Kesehatan,” kata Dori secara virtual kepada awak media, Selasa 29 Desember 2020.

Selain dari peserta aktif yang tidak valid identitasnya, Dori memaparkan pihaknya juga menemukan masalah lain yang juga berpotensi membebani keuangan BPJS Kesehatan, yaitu, timbulnya pembayaran klaim atas peserta nonaktif karena kesamaan NIK.

Masalah lain berkaitan dengan temuan kesamaan data peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan non-PBI, sehingga berpotensi membuat data PBI tidak valid.

Temuan lain yang juga berpotensi membebani keuangan adalah pembayaran iuran yang tidak sesuai dengan penghasilan peserta. Hal ini terjadi karena belum solidnya koordinasi antara BPJS Kesehatan dengan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, hingga badan usaha.

“Belum optimalnya koordinasi dalam rekonsiliasi dan validasi gaji atau upah sebagai dasar pertimbangan iuran peserta,” imbuhnya.

BPK juga menemukan bahwa BPJS Kesehatan belum optimal dalam melakukan kolektabilitas iuran dari peserta. “Hal ini menyebabkan defisit dana Jaminan Kesehatan Nasional untuk membiayai penyelenggaraan program akan selalu bertambah,” jelasnya.

Bahkan, BPK menemukan hal ini terjadi pula di kalangan pemerintah walaupun di tingkat kepala desa dan perangkat desa. Menurutnya, ada sejumlah daerah yang masih belum menginformasikan berapa penghasilan kades dan perangkatnya sebagai dasar pembayaran iuran kepesertaan, sehingga mereka tidak terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.

Masalah lain juga berasal dari pembayaran klaim layanan kesehatan yang lebih tinggi atas rujukan perawatan dari rumah sakit. Hal ini berkaitan dengan sistem verifikasi yang belum memadai di internal BPJS Kesehatan.

“Database BPJS Kesehatan belum bisa menyimpan semua riwayat perubahan status peserta dan berpotensi membebani keuangan dana JKN ke pembayaran klaim,” tuturnya.

Atas berbagai hal ini, BPK memberikan rekomendasi berupa perlunya pembenahan sistem verifikasi dan validasi di internal BPJS Kesehatan yang terkoordinasi dengan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah serta badan usaha. BPJS Kesehatan juga diminta untuk lebih memperketat monitoring audit klaim berkala.

BPJS

“BPK memberikan rekomendasi mengatur mekanisme petunjuk teknis dalam rangka meningkatkan verifikasi dan validasi NIK, identitas peserta ganda dan penghitungan upah peserta,” pungkasnya. ***Ts