Jelang hari pencoblosan pada 9 Desember, sejumlah pihak melakukan penggiringan opini mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya pada pilkada serentak yang tersisa tujuh hari lagi.

Hingga beberapa lembaga Survei jelang Pilkada serentak mengeluarkan hasil rilisnya, yang tujuannya mengangkat tingkat keterpilihan calon tertentu pada pilkada serentak tahun ini, hingga ada beberapa hasil survei “Orderan” yang tidak menuntut kemungkinan melakukan rekayasa jelang hari pencoblosan, seakan mulai tersaji di Pilkada Makassar 2020.

Pengamat Politik dari Universitas Hasanuddin Andi ali Armunanto menyebutkan langkah langkah tersebut bagian dari strategi pasangan calon untuk mempengaruhi pemilih jelang hari pencoblosan, sebab saat ini masih banyak pemilih mengambang yang menjadi perhatian pada kandidat.

“Langkah itu merupakan bagian dari strategi politik yang dilakukan, dan itu jelas upaya untuk mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya, dan itu upaya menggiring opini jika calon yang di publikasi memiliki peluang untuk menang, Tujuannya dari perspektif politik adalah untuk menggiring bahwa kandidat tertentu seakan-akan sudah memenangi,” kata akademisi Universitas Hasanuddin (Unhas), Andi Ali Armunanto kepada awak media, Rabu (2/12/2020).

Anto, sapaan akrabnya, menjelaskan yang menjadi sasaran dari strategi ini adalah pemilih mengambang. “Tujuannya memang mereka mencari keuntungan dari situ, utamanya pemilih yang belum menentukan pilihan. Mereka (pemilih mengambang) tidak mau berjudi, ya, memilih calon yang kira-kira probabilitasnya untuk menang lebih besar,” tutur Anto.

Akan tetapi, lanjut Anto, cara-cara ini cenderung justru menimbulkan kerawanan politik dan berpotensi menimbulkan konflik. Klaim kemenangan sepihak, ketika kalah akan menyebarkan isu kecurangan pemilu dan menyalahkan penyelenggara pemilu.

Anto menilai bahwa hal tersebut sangat tidak baik untuk kelangsungan demokrasi, khususnya di Kota Makassar. “Ketika kalah dalam pemilihan akan menimbulkan protes di kalangan pendukungnya karena mereka dari awal sudah yakin memang. Ini akan memunculkan kerawanan sosial. Akan berujung pada protes besar-besaran dan bahkan bisa jadi memicu konflik. Ini bukan strategi politik yang bagus,” sambungnya.

Dia pun mengimbau kepada semua kandidat untuk bersaing secara sehat dengan memasifkan ajakan memilih secara persuasif. “Tidak usah dulu ada klaim kemenangan. Tidak usah melakukan penggiringan opini karena justru akan menjadi bumerang. Apalagi kalau terbukti surveinya abal-abal ataupun pemilih bisa menilai dia sombong karena mendahului kehendak Tuhan,” kata Ketua Jurusan Ilmu Politik Unhas ini.

Hal sama juga diungkapkan akademisi dari Universitas Islam Negeri Alauddin (UINAM), Ibnu Hadjar Yusuf. Menurutnya, pola-pola penggiringan opini dengan klaim kemenangan dan politisasi survei adalah langkah keliru.

“Ini penggiringan opini busuk. Pola pembodohan. Cara kolot yang bisa saja mencoreng proses demokrasi,” papar Ibnu.

Ibnu mengatakan bahwa masyarakat Kota Makassar sudah sangat kritis dan tidak bisa dikelabui dengan cara dan motif tertentu. Apalagi jika membandingkan hasil survei yang kredibel dan profesional.

“Janganlah memakai pola-pola seperti ini. Ini tidak masuk akal. Memakai lembaga survei yang tidak kredibel itu ngapain? Masyarakat sudah cerdas. Maka bertarunglah secara sehat, sportif. Tunjukkan visi misi, sentuh rakyat,” beber Ibnu.

Ibnu menilai bahwa klaim kemenangan dan politisasi survei hanya akan dilakukan oleh kandidat yang merasa inferior dari kandidat lainnya. “Ini dilakukan oleh kandidat yang lagi panik, khawatir. Kalau Anda sayang Kota Makassar, Anda menginginkan damai tenteram damai proses demokrasi, hentikanlah proses sepertti itu. Harus sadar dan tahu dirilah. Jangan buat Makassar kacau,” demikian Ibnu.***