Aplikasi VTube ditendang dari daftar penyelenggara sistem elektronik (PSE) di Kementerian Komunikasi dan Informatika RI meski sebelumnya telah sempat menerima izin daftar (Tanda Daftar PSE Nomor: 02376/DJAI.PSE/03/2020).

Foto aplikasi vtube

Situs web aplikasi yang dikembangkan oleh PT Future View Tech tersebut (fvtech.id) juga telah diblokir meski masih bisa diakses menggunakan jaringan pribadi virtual (VPN).

Mengapa VTube diblokir? Pada Juni 2020, Satgas Waspada Investasi, gabungan dari berbagai instansi yang khusus menangani investasi ilegal, telah memasukkan VTube sebagai layanan investasi bodong.

SWI menyatakan aplikasi tersebut tak miliki izin operasi dari Otoritas Jasa Keuangan, tapi mengumpulkan uang dari masyarakat sebagai bentuk investasi. Mereka menawarkan keuntungan Rp 200.000 hingga Rp 70.000.000.

Meski diblokir dan dinyatakan ilegal, aplikasi tersebut hingga berita ini ditulis, Kamis (28 Januari 2021) masih nangkring di Google Play Store dan bisa diunduh.

Cyberthreat.id pun mengunduhnya. Sama seperti aplikasi lainnya, saat ingin membuka salah satu video yang ada di aplikasi tersebut, pengguna akan disarankan untuk melakukan login atau registrasi lebih dulu.

Namun, proses registrasi ditolak dengan notifikasi dari aplikasi agar menggunakan nomor seluler lain. Padahal nomor seluler tersebut sama sekali belum pernah didaftarkan di VTube.

VTube dikembangkan oleh FutureView Tech pada 2019 dan telah diunduh oleh lebih dari 5 juta pengguna. Pengembang mengklaim dapat menghasilkan uang bagi pengguna hanya dengan menonton video di platformnya.

VTube menamakan diri sebagai aplikasi berbasis social advertising. Penggunanya akan dibayar untuk menonton setiap video iklan yang ada di platform tersebut.

Untuk mendapatkan uang dari aplikasi ini, pengguna harus melakukan registrasi. Kemudian, ia harus menyelesaikan misi pertama yaitu menonton 10 video iklan selama lima menit per hari. Terkahir, pengguna harus mengundang 20 orang dengan menggunakan kode referral.

Sistem yang diterapkan aplikasi yaitu pengguna harus mengumpulkan sejumlah poin untuk ditukarkan uang. Selain itu, pengguna akan ditawarkan untuk membeli paket "Bintang" demi meningkatkan pendapatan pengguna.

Semakin tinggi paket “Bintang” yang dibeli, maka potensi pendapatannya akan semakin besar. Inilah yang dimaksudkan dengan bentuk investasi.

Dalam kebijakan privasinya,VTtube menyebutkan bahwa aplikasi memerlukan akses lokasi, kontak, dan penyimpanan media milik pengguna.

Data-data ini selain informasi pribadi pengguna akan dikumpulkan untuk kepentingan e-KYC (know your customer). Selain itu, dalam kebijakan privasinya, ia juga mengatakan jika apikasi ini merupakan bisnis legal dan saat ini sedang dipertimbangkan oleh regulator.

Pada 4 April 2020, dalam acara siarang langsung antara IDN Media dengan Menkominfo RI Johnny G. Plate, ada peserta yang menanyakan soal VTube.

Peserta itu mempertanyakan VTube yang meminta data berupa nama lengkap, NIK Kartu Tanda Penduduk atau data Surat Izin Mengemudi, data paspor, serta nomor seluler yang dapat dihubungi. Padahal, saat itu aplikasi itu belum dirilis atau tersedia di Indonesia.

“Untuk seperti itu, teliti dulu baik-baik dulu, aplikasi apa pun. Saat ini, kita mempunyai fasilitas gadget yang masuk era baru di transformasi digital, ruang digital itu harus penuh kehati-hatian, sebelum kita upload dan menggunakan, harap periksa baik-baik,” kata Johnny.

Pada bulan yang sama, Cyberthreat.id juga mendapati promosi VTube yang meminta data pribadi persis yang disampaikan oleh peserta siarang langsung tersebut

Promosi itu beredar dari grup WhasApp yang berisi manfaat menggunakan VTube. Pesan yang tersebar itu meminta nama, NIK, e-mail, nomor telepon/WhatsApp.

Tetap ilegal

Sementara, Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing mengatakan, saat ini Vtube telah melakukan pengurusan izin operasi. Namun, selama proses perizinan belum selesai, segala aktivitas aplikasi masih dikategorikan investasi ilegal, tutur dia kepada detik.com, Rabu (27 Januari).

Menurut dia, entitas yang masuk daftar investasi ilegal tak bisa dihapus kembali, kecuali ada surat normalisasi yang dikeluarkan SWI untuk perusahaan tersebut.***).