Wacana mendorong kepala desa membuat laporan harta kekayaan, merupakan hal krusial untuk mengoptimalkan penggunaan uang negara di tingkat desa. Hal itu diungkapkan pengamat pemerintahan dari Universitas Riau, Tito Handoko.
LHKPN
 

Tito mengatakan dorongan untuk membuat laporan harta kekayaan negara (LHKPN), bukan sebatas urusan transparansi tapi juga tertib administrasi. "Transparansi itu satu hal. Tapi yang juga penting itu adalah tertib administrasi, karena pengguna uang negara diwajibkan bikin laporan kekayaan. Tentu jadi pertanyaan kenapa di tingkat desa tidak, padahal gelontoran dana negara ke desa makin banyak," jelasnya kepada Gatra.com di Pekanbaru, Jum'at (8/1). Asal tahu saja, selain memperoleh alokasi dana desa sebesar Rp960 juta dari pemerintah pusat pada tahun 2020. Pemerintah desa juga menerima sokongan finansial dari pemerintah kabupaten dan provinsi berupa bantuan keuangan (bankeu) setiap tahunnya. Di Riau, bankeu provinsi berjumlah Rp100 juta yang diberikan kepada lebih kurang 1.700-an desa. Menurut Tito, saat ini masyarakat di desa justru disuguhkan oleh dugaan meroketnya harta seorang kades setelah menjabat. "Disisi lain desanya tidak mengalami perkembagan yang berarti. Disinilah peran LHKPN itu, membuat masyarakat desa bisa tahu sekaligus mengawasi kadesnya," imbuhnya. Lebih lanjut Tito mengatakan, regulasi pelaporan harta kekayaan untuk para kades bisa diprakasai oleh bupati melalui peraturan bupati. Hal itu untuk mempercepat proses pembuatan regulasi, dibandingkan menunggu keputusan dari Jakarta.***Gatra