Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pertanian nomor 49 tertanggal 30 Desember 2020 tanpa konsultasi dengan DPR menetapkan harga baru Harga Eceran Tertinggi (HET) beberapa jenis pupuk bersubsidi yang menyebabkan HET pupuk subsidi rata-rata naik di atas 30%, sehingga menimbulkan penolakan dari petani. Kenaikan HET pupuk subsidi di masa pandemi ini dinilai dapat mengganggu produksi pangan nasional dan bahkan mengancam ketahanan pangan nasional.

Ema Umiyyatul Chusnah, Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PPP, mengatakan, pada Rapat dengan Eselon I Kementan (13/1/21), kami di Komisi IV memprotes kebijakan yang tanpa konsultasi dengan DPR tersebut. Terlebih saat ini masih ada masalah terkait penurunan jumlah alokasi pupuk bersubsidi, kurang maksimalnya penggunaan kartu Tani Nasional, serta dibutuhkannya validasi data Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani Elektronik (E-RDKK) yang merupakan bagian dari program subsidi pupuk yang dirasa sangat memberatkan petani dalam 3 tahun ini.

“Untuk saat ini data penerima kartu tani belum tervalidasi secara maksimal, siapa saja yang berhak memperoleh kartu tani, apa manfaatnya, apakah sudah tepat sasaran,”ujarnya.

Diperlukan evaluasi pupuk bersubsidi Tahun 2020 melalui komponen-komponen pendukung kegiatan program pupuk bersubsidi dan kartu tani kepada pemerintah. Khususnya terkait Tata Kelola dan Pengawasan pelaksanaan Pupuk Subsidi. Adanya kenaikan HET, seharusnya dapat meningkatkan jumlah pupuk subsidi, namun yang terjadi saat ini HET naik tetapi jumlah pupuk subsidi tidak bertambah sehingga menimbulkan kelangkaan terutama di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pupuk Urea

Pihaknya meminta Pemerintah untuk melakukan kajian terhadap alternatif pola penyaluran pupuk bersubsidi dan pengawasannya, untuk mencari solusi terhadap mekanisme penyaluran yang setiap tahunnya selalu mengalami permasalahan. Sebab dalam permentan 49 tahun 2020 pupuk bersubsidi diperuntukkan bagi petani atau petambak yang telah bergabung dalam kelompok tani dan menyusun RDKK, tidak diperuntukkan bagi perusahaan, dengan ketentuan luas lahan yang dikuasai maksimal 2 hektar. Namun kondisi yang terjadi dilapangan justru sebaliknya, yang mendapatkan pupuk subsidi justru petani yang mempunyai puluhan hektar, sementara petani kecil, petani penggarap tidak mendapatkan dampak keuntungan adanya pupuk subsidi.

“Carut marut tata kelola penyaluran pupuk subsidi terjadi karena kurangnya pengawasan. Empat komponen lembaga pengawasan penyaluran pupuk subsidi yaitu Dinas Pertanian, Disperindag, Kejaksaan, dan Kepolisian. Jika selama ini pengawasannya lemah sehingga tidak tepat sasaran, maka kami mendorong penguatan anggaran untuk meningkatkan pengawasan penyaluran pupuk subsidi,”ujarnya.***