Agustina Wilujeng menanggapi polemik terkait tes seleksi guru honorer untuk diangkat menjadi aparatur sipil negara (ASN). 

Foto Ilustrasi Honorer

Sebelumnya diberitakan bahwa ada sejumlah pihak menyarankan agar guru honorer berusia diatas diatas 35 tahun untuk diangkat menjadi pegawai negeri tanpa melalui tes. 

Namun hal tersebut berbenturan dengan undang-undang yang mengatur soal ASN, yang mewajibkan penerimaan dilakukan melalui tahapan tes seleksi.

"Memang terinfo di media secara nasional, mereka (guru honorer -red) menginginkan untuk tidak dites. Padahal ketika saya melakukan kunjungan kerja spesifik ke Sragen, mereka mengatakan takut dites karena itu sulit. Namun ketika mereka ditunjukkan bahwa indikator tes seleksinya disesuaikan dengan bidang studi yang diajarkan, mereka lega," kata Agustina usai memimpin rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi X DPR RI dengan sejumlah pakar pendidikan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis kemarin, (18/3/2021).

 

Dalam rapat tersebut diketahui bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim sebenarnya sudah memberikan kesempatan bagi pada segenap guru honorer dan tenaga pendidikan (GTK) untuk dapat 3 kali mengulang proses tahapan seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun proses seleksi tersebut, dinilai dinilai sejumlah pakar pendidikan masih terkendala dengan faktor birokrasi.

 

"Pakar kenegaraan mengatakan bahwa guru harus segera diangkat menjadi PNS, serta kesejahteraannya harus dijaga. Sementara pakar pemerintahan menilai birokrasi untuk melakukan hal tersebut terlalu memakan waktu lama. Sebenarnya niat pemerintah secara prinsip dan kebijakannya sudah ada, tapi alur birokrasinya itulah yang sangat lama. Pakar pendidikan juga sudah mendesak proses seleksi untuk segera dilakukan," papar Agustina.

 

Dalam RDPU tersebut, Pakar Pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Solehuddin mencatat bahwa  jumlah guru honorer di Indonesia kini sudah mencapai 1,53 juta orang. Sementara keseluruhan jumlah guru per hari ini di Data Pokok Pendidikan (Dapodik) mencapai 3,2 juta. Artinya hampir setengah dari seluruh guru di jenjang dasar dan menengah.

Terkait pengangkatan guru honorer, Solehudin menilai seleksi pada rekrutmen PPPK sangat dibutuhkan. Sebab mekanisme rekrutmen guru tidak bisa terus dilakukan tanpa pertimbangan dan syarat yang ketat. Meski begitu, pemerintah disarankan untuk tetap memberi pengecualian bagi guru yang telah mengajar puluhan tahun. "Kami rekomendasi untuk pengangkatan guru honorer di bawah 10 tahun perlu seleksi berdasarkan standar kompetensi dan kinerja," imbuhnya.

 

Lebih lanjut, pemerintah dinilai bisa memberikan mekanisme khusus untuk rekrutmen guru di atas 10 tahun. Dimana kewenangan rekrutmen diberikan kepada kepala sekolah agar bisa memilih guru honorer yang patut diangkat. Sementara guru yang dinyatakan tidak patut lulus dapat dikerahkan menjadi tenaga kependidikan atau dibebastugaskan dengan jumlah pesangon yang dinilai sesuai dengan pengabdiannya.

 

Fakta berbeda justru diungkap oleh akar Kebijakan Publik dari Universitas Negeri Jakarta Hafid Abbas. Menurut perhitungannya, sekolah di Indonesia justru kelebihan 1,6 juta guru. Sebab dengan jumlah 50 juta siswa dan total 4 juta guru secara nasional, artinya satu guru mengajar rata-rata 13 orang siswa. "Padahal rasio internasional rata-rata satu guru mengajar 21-22 orang siswa, jadi dengan ini kelihatannya kita kelebihan 1,6 juta guru," jelasnya.

 

Meski demikian, Hafid setuju jika rekrutmen 1 juta guru PPPK dijadikan solusi jangka pendek terkait pengelolaan guru. Namun ia menyarankan pemerintah juga perlu menciptakan kebijakan yang lebih solutif dan berlapis. Sebab terjadi saat ini pemerintah tidak dapat menempatkan guru dan tata kelola yang baik dan merata. Akhirnya, kekurangan guru seolah jadi persoalan.

 

Penggunaan anggaran pendidikan juga tak luput dari sorotan. Menurut Hafid, hal itu tidak efektif dilakukan di Indonesia. Berdasarkan studi Bank Dunia, 32 kabupaten/kota menggunakan anggaran pendidikan untuk kesejahteraan guru mencapai 90 persen lebih. Artinya porsi yang digunakan untuk membiayai jalannya pendidikan dan peningkatan mutu sangat minim.

 

"Vietnam hanya menggunakan 42 persen (anggaran pendidikan) untuk kesejahteraan dan sisanya untuk anak-anak. Jadi kita serakah, tidak memberikan kue anggaran yang besar ini kepada anak. Finlandia 55 persen. Kita 90 persen. Kita mengurusi diri sendiri, tapi tidak mengurusi pendidikan," pungkas Hafid.

 

Selain kedua pakar tersebut, hadir juga sejumlah narasumber lainnya yakni diantaranya Pakar Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Ina Liem, Pakar Keuangan Negara W. Riawan Tjandra, Pakar Kebijakan Publik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Prof. Cecep Darmawan. **alw/es