Fadli Zon mengatakan, seharusnya Pemerintah Indonesia mempunyai kebijakan prioritas agar bisa keluar dari pandemi Covid-19 dengan cepat dan sesedikit mungkin korban, serta memulihkan ekonomi negara dengan menggenjot ekonomi rakyat. Fadli menilai, saat ini untuk pemindahan ibu kota negara belum menjadi hal yang urgen untuk dilakukan pemerintah.


“Untuk pemindahan Ibu Kota Negara baru, menurut saya sama sekali tidak ada urgensinya. Itu bisa dilakukan kalau kita dalam kondisi normal atau ada kelebihan anggaran. Saat ini kita (Indonesia, red) agak kesulitan anggaran, utang kita menumpuk, melebihi Rp6 ribu triliun. Saya kira, tidak pada tempatnya melanjutkan rencana pemindahan Ibu Kota Negara baru itu,” tegas Fadli.

 

Sebelumnya Anggota BKSAP DPR RI Didi Irawadi mempertanyakan rencana pemerintah memindahkan Ibu Kota Negara untuk tujuan SDGs ini yang kembali muncul saat pandemi. Meskipun sudah lama di-planning oleh Bappenas, tetapi ia mempertanyakan manfaat pemindahan IKN bagi bangsa. Apalagi situasi bangsa saat ini yang harus mengeluarkan banyak biaya untuk penanganan pandemi.

 

“Sebagaimana diketahui pemindahan Ibu Kota Negara memerlukan biaya yang sangat besar. Sepengetahuan saya, rencana awal paling tidak (anggarannya) lebih dari Rp400 triliun. Bahkan di dalam perjalanan ke depan bisa ribuan triliun diperlukan. Nah pertanyaan saya, apakah dalam situasi dunia yang sudah modern sekarang, konsep bahwa ibu kota negara harus berada di center atau di tengah-tengah suatu negara itu masih relevan?” tanya Didi.

 

“Jika kita belajar dari Amerika Serikat saja misalnya. Kita tidak pernah mendengar bahwa ibu kota negara Amerika yang berada di ujung timur Washington DC itu dipindahkan demi kesejahteraan. Dalam sejarah Amerika, hampir 250 tahun tidak pernah dipindahkan ke tengah, ke Kansas City misalnya. Namun jika kita lihat, Amerika sampai hari ini tetap sejahtera. Begitu juga masyarakat di negara-negara bagian lainnya, di selatan ada Texas, di tenggara Amerika ada Florida, semua sejahtera,” analisa Didi.

 

Ia menambahkan, hal yang sama juga terjadi di Inggris. Letak ibu kotanya, London, berada di selatan wilayah Inggris, namun mereka tidak melakukan pemindahan ibu kota. Kalau dipindahkan, wilayah yang paling mungkin adalah di Manchester. 


Bahkan menurut analisanya, beberapa negara lain juga gagal memindahkan ibu kota. Misalnya Malaysia yang memindahkan pusat pemerintahannya ke Putrajaya, ternyata tidak sederhana. Padahal letak Putrajaya sangat dekat dari Kuala Lumpur, hanya beberapa puluh kilometer.

 

“Memindahkan manusia yang jumlahnya banyak, memindahkan akar budaya, dan sebagainya. Kita memindahkan anak sekolah saja tidak sesederhana itu. Banyak aspek lain yang harus dipertimbangkan demi SDGs. Misalnya pembangunan pelabuhan-pelabuhan, bandara-bandara yang bagus. Misalnya di ujung timur diambil dua kota besar, Papua dan Maluku. Di tengah-tengah, bisa Makassar ataupun Manado dan di tempat lainnya,” saran Didi.

 

“Dari segi biaya, (pemindahan ibu kota) memakan biaya yang sangat banyak, biaya yang sangat besar, tidak ada jaminan lebih sejahtera. Berarti itu kan ada alokasi yang sangat besar ke luar Pulau Jawa, ke Kalimantan Timur. Kalau itu berhasil, kalau tidak berhasil (bagaimana?). Maka masyarakat di luar Pulau Jawa tidak sejahtera, dan masyarakat di Pulau Jawa juga ikut terganggu. Jadi konsep ini harus dipikirkan lagi oleh Bappenas. Saya pikir karena situasi pandemi kemarin, pemikiran itu tidak jadi didorong,” paparnya. **Ts