Dalam dua hari terakhir ini, publik Tanoh Gayo, khususnya di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah, dihebohkan dengan kasus meninggalnya seorang anak setelah mengkonsumsi singkong bakar.

Foto : Singkong

Mencermati kasus kematian seorang anak (dan tiga lainnya harus menjalani perawatan intensif) yang diduga akibat mengkonsumsi ubi kayu atau singkong bakar yang terjadi beru-baru ini di sebuah kampung di Bener Meriah, penulis ingin sedikit “urun rembug” atau sumbang saran melalui tulisan singkat ini.(30/7/2021).

Meski kasus ini sedang ditangani oleh pihak berwajib di Kabupaten Bener Meriah, tapi melihat kronologi kejadian tersebut, kita patut memnduga bahwa kejadian yang sampai merenggut nyawa tersebut merupakan kasus keracunan akibat mengkonsumsi ubi kayu yang kemungkinan mengandung racun.

Apakah benar bahwa ubi kayu merupakan salah satu bahan pangan yang mengandung racun yang bisa membahayakan manusia? Mari simak uraian sederhana yang saya rangkum dari berbagai sumber referensi dibawah ini.

Ubi Kayu alias Singkong (Manihot utilisima) atau dikenal juga sebagai ketela pohon dan di dataran tinggi Gayo dikenal dengan sebutan Gadung, merupakan tanaman yang tumbuh di seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Tanaman singkong. Sebagai salah satu produk tanaman pangan, singkong sebenarnya merupakan tanaman multi guna yang dapat dimanfaatkan secara keseluruhan tanamannya, mulai dari batang, daun dan umbinya.

Dari segi nutrisi, ubi segar singkong mempunyai komposisi kimiawi terdiri dari kadar air sekitar 60%, pati 35%, serat kasar 2,5%, kadar protein 1%, kadar lemak, 0,5% dan kadar abu/karbon 1%, sehingga merupakan sumber karbohidrat dan serat makanan yang cukup potensial sebagai salah satu pangan alternatif pengganti beras.

Foto : Singkong

Selain sebagai bahan makanan pokok di beberapa daerah, singkong dapat diolah menjadi berbagai macam produk olahan yang punya nilai ekonomis cukup tinggi dan rasa yang enak seperti getuk, tape, keripik, opak (kerupuk singkong), aneka kue, dan produk olahan lainnya.

Meski merupakan bahan pangan serba guna dan sangat populer di kalangan masyarakat, namun perlu diperhatikan, bahwa ada beberapa jenis singkong tertentu yang memiliki kandungan senyawa racun berbahaya yang dapat menimbulkan keracunan, yaitu linamarin dan lotaustralin, keduanya termasuk golongan glikosida sianogenik. Toksin/racun Glikosida sianogenik yang terkandung pada beberapa jenis singkong (tidak semua singkong menngandung racun tersebut) merupakan metabolit sekunder pada tumbuhan, yang berupa turunan asam amino yang dapat melepaskan zat sianida dalam tubuh saat dikonsumsi, sehingga berpotensi menimbulkan keracunan.

Terdapat banyak jenis glikosida sianogenik, seperti misalnya pada jenis kacang almond yang disebut amygdalin, pada biji Shorgum disebut durrhin, pada rebung bambu (Bahasa Gayo, Tuwis) disebut taxiphyllin. Sementara pada umbi singkong, glikosida sianogenik utamanya adalah linamarin, dan sejumlah kecil lotaustralin (metil linamarin). Menurut ilmu kimia terapan, Linamarin dengan cepat dihidrolisis menjadi glukosa dan aseton sianohidrin sedangkan lotaustralin dihidrolisis menjadi sianohidrin dan glukosa. Di bawah kondisi netral, aseton sianohidrin didekomposisi menjadi aseton dan hidrogen sianida. Hidrogen sianida (HCN) atau asam sianida. Inilah yang merupakan penyebab mengapa dalam kondisi tertentu, mengkonsumsi singkong bisa menyebabkan keracu,

Agar terhindar dari keracunan tersebut, ada baiknya kita mengenali jenis singkong yang mengandung racun sianida tersebut. Sebagian besar masyarakat yang sudah terbiasa mengkonsumsi singkong, apalagi yang sudah terbiasa menjadikannya sebagai makanan pokok, mengenal sianida pada umbi singkong sebagai racun asam biru karena keberadaan racun tersebut ditandai dengan adanya bercak warna biru pada permukaan umbi singkong dan akan menjadi toksin (racun) jika dikonsumsi pada kadar HCN lebih dari 50 ppm (part per miligram). Kadar sianida pada singkong bervariasi antara 15-400 mg/kg pada singkong segar.

Dari rasa dan tampilan fisiknya, singkong dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu singkong manis yang memiliki warna umbi putih mulus atau putih kekuningan dengan rasa agak manis dan singkong pahit.dengan performa permukaan umbi setelah dikupas berwarna ptih dan terkadang disertai bintik atau urat-urat kecil berwarna kebiruan. Singkong manis memiliki kadar sianida yang relatif rendah (≤ 50 mg/kg singkong) sedangkan jenis pahit memiliki kadar sianida yang cenderung lebih tinggi (> 50 mg/kg singkong).

Ada puluhan jenis atau varietas singkong yang saat ini dibudidayakan oleh petani, kita dapat membedakan kandungan racunnya dari bentuk fisik maupun rasanya. Jenis singkong yang rasanya manis, kandungan sianidanya relatif rendah, sementara yang rasanya agak pahit, kemungkinan kandungan sianidanya lebih tinggi.

Kandungan sianida pada singkong ini dapat diperkecil bahkan dinetralisir melalui proses pengolahan, baik secara mekanik seperti direbus, digoreng, diperas dan dibuang airnya dijadikan pati, dijemur dijadikan gaplek dan tepung tapioka, atau direndam di aliran air dalam waktu tertentu. Pada skala industri pengolahan, telah dilakukan proses pengolahan dengan baik sehingga kadar HCNnya berkurang atau bisa di netralisir sampai ke tingkat yang tidak membahayakan kesehatan.

Terjadinya kasus keracunan yang terjadi dimasyarakat, seperti yang diduga terjadi di Bener Meriah beberapa hari yang lalu, sering kali karena masyarakat mengkonsumsi jenis singkong dengan kadar HCN yang tinggi dan proses pengolahan yang tidak benar sehingga kadar HCN pada singkong masih melebihi kadar aman yang dapat dikonsumsi manusia. Ini juga bisa menjadi praduga kita, kenapa hanya anak-anak yang mengkonsumsi ubi bakar yang kemudian mengalami keracunan, sementara yang mengkonsumsi ubi goreng atau rebus, tidak mengalami hal serupa.

Logika sederhananya begini, pada ubi yang dibakar (biasanya berikut dengan kulit-kulitnya), kandungan sianida yang terdapat dalam umbi singkong nyaris tetap berada dalam umbi, tidak ada yang keluar sedikitpun, sehingga ketika dikonsumsi, kandungan sianidanya masih tetap tinggi, dan mungkin saja berada diatas ambang aman. Apalagi yang mengkonsumsi adalah anak-anak yang imun tubuhnya terhadap reaksi toksid juga masih rendah. Bisa saja jenis ubi yang mereka konsumsi adalah jenis singkong yang kandungan sianidanya tinggi, sehingga menimbulkan keracunan yang luar biasa pada pengkonsumsi singkong tersebut.

Pertanyaan berikutnya, kenapa orang dewasa yang mengkonsumsi singkong digoreng dan direbus, tidak mengalami keracunan? Logikanya juga sederhana. Ubi atau singkong yang digoreng atau direbus, biasanya dikupas dan dicuci bersih terlebih dahulu, sehingga sebagian kandungan sianida yang terdapat dalam ubi berkurang. Ketika ubi digoreng, senyawa yang terdapat minyak goreng dan suhu tinggi pada saat proses penggorengan juga dapat menurunkan kadar sianida, sehingga ketika dikonsumsi, kandungan racunnya sudah berada dibawah ambang aman. Terlebih yang mengkonsumsi adalah orang dewasa yang kekebalan tubuhnya terhadap racun tenmtunya lebih tinggi. Begitu juga dengan ubi yang direbus, sebagian kandungan sianida akan larut dalam air dan menguap ketika mendapatkan rekasi suhu tinggi pada saat proses perebusan, sehingga pada saat umbi matang, kandungan sianidanya sudah relatif rendah.

Tindakan ketika terjadi keracunan :

Gejala keracunan akibat mengkonsumsi singkong dengan kandungan suianida relatif tinggi, antara lain respirasi cepat, penurunan tekanan darah, denyut nadi cepat, pusing, sakit kepala, sakit perut, muntah, diare, kebingungan mental, berkedut dankejang-kejang. Jika hidrogen sianida melebihi batas toleransi kemampuan individu untuk detoksifikasi/mentolerir, kematian dapat terjadi akibat keracunan sianida ini. Dosis oral HCN yang mematikan bagi manusia yang dilaporkan oleh WHO adalah 0,5 – 3,5mg/kg berat badan.

Sebenarnya tubuh manusia memiliki kemampuan melindungi diri terhadap HCN ini dengan cara detoksikasi HCN tersebut menjadi ion tiosianat yang relatif kurang toksik (beracun). Detoksikasi ini berlangsung dengan perantaraan enzim rodanase (transulfurase) yang terdapat di dalam jaringan tubuh , terutama hati. Namun demikian, sistem enzim rodanase ini bekerja sangat lambat sehingga keracunan masih dapat timbul. Kerja enzim ini dapat dipercepat dengan memasukkan sulfur ke dalam tubuh. Secara klinis hal inilah yang dipakai sebagai dasar menyuntikkan natrium tiosulfat pada pengobatan keracunan oleh singkong/HCN pada umumnya. Hidrogen sianida yang masuk ke dalam tubuh dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh darah. Tingkat sianida dalam berbagai jaringan manusia pada kasus keracunan HCN yang fatal telah diteliti adalah, pada lambung : 0,03, pada darah : 0.5, pada hati : 0,03, pada ginjal : 0,11, pada otak : 0,07, dan urin : 0,2 (mg/100g). Secara fisiolgi dalam tubuh, Hidrogen sianida menginaktivasi enzim sitokrom oksidase dalam mitokondria sel dengan mengikat Fe3 + / Fe2 + yang terkandung dalam enzim. Hal ini menyebabkan penurunan dalam pemanfaatan oksigen dalam jaringan. sehingga organ yang sensitif terhadap konidis kurangnya O2 akan sangat menderita terutama jaringan otak. Sehingga dapat menimbulkan asfiksia, hipoksia dan kejang. Selain itu sianida menyebabkan peningkatan glukosa darah dan kadar asam laktat dan penurunan ATP/ ADP rasio yang menunjukkan pergeseran dari aerobik untuk metabolisme anaerobik. Hidrogen sianida akan mengurangi ketersediaan energi di semua sel, tetapi efeknya akan paling cepat muncul pada sistem pernapasan dan jantung.

Pertolongan pertama yang dapat dilakukan pada korban keracunan sebelum dibawa ke rumah sakit, pasien dapat diberikan pertolongan pertama oleh penolong atau keluarga pasien dengan memberikan arang aktif/karbon aktif (bukan arang hasil pembakaran kayu) yang sekarang sudah tersedia di apotik dalam bentuk tablet atau kapsul, merek karbon aktif yang sudah cukup familiar di tengah masyarakat adalah “Norit”. Namun dalam pemberian arang aktif ini harus berhati-hati dan sesuai dengan dosis yang tercantum dalam label kemasannya. Arang aktif dapat menyerap racun dalam tubuh secara cepat, sehingga efek racun dapat diminimalisir sampai ke tingkat yang tidak membahayakan.

Namun jika susah mendapatkan Norit dalam waktu singkat, maka rangsang muntah adalah alternatif kedua yang dapat dilakukan. Secara fisik rangsang muntah dapat dilakukan dengan memasukkan jari tangan yang dalam keadaan bersih dan steril kedalam rongga mulut sampai anak tekak, sehingga menimbulkan reaksi mual dan dapat merangsang pasien untuk muntah. Dengan memuntahkan sisa makanan yang mengandung racun tersebut, efek dari keracunan dapat dikurangi. Rangsang muntah juga dapat dilakukan dengan meminumkan air kelapa kepada pasien yang mengalami keracunan, berikan dalam jumlah banyak sampai menimbulkan efek rangsangan muntah.

Setelah memberikan pertolongan pertama baik dengan pemberian Norit maupu melakukan rangsang muntah, langkah terbaik untuk penanganan pasien yang mengalami keracunan adalah dengan secepatnya membawa pasien ke rumah sakit, klinik, atau layanan kesehatan terdekat. Namun setidaknya, dengan penanganan awal yang benar, resiko fatal akibat keracunan sianida ini dapat dihindari. Bersikap tetang dan tidak panik, juga merupakan tindakan bijak dalam melakukan penanganan awal jika terjadi kasus keracunan seperti yang terjadi baru-baru ini. Mencari literasi dan referensi tentang berbagai bahan pangan yang berpotensi menimbulkan keracunan, adalah sebuah keniscayaan agar kita terhindar dari kejadian yang tidak kita inginkan. Mensosialisasikan pengetahuan tentang jenis-jenis pangan yang mengandung racun berbahaya kepada masyarakat, serta upaya penaganan awal jika terjadi kasus, adalah menjadi tugas dan kewajiban bersama. Semoga bermanfaat.***ts