Johan Rosihan menyatakan, momentum 76 tahun Indonesia merdeka mesti memperkuat rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena berkat rahmat Allah maka Indonesia bisa merdeka, bersatu, berdaulat menuju keadilan dan kemakmuran sebagai negara tangguh dan maju, dimana rakyatnya selalu terlindungi, makmur, cerdas serta mendapat kedamaian dan keadilan.

Meski demikian Johan mengatakan perlu adanya evaluasi objektif sebagai refleksi kemerdekaan terhadap kondisi saat ini. Menurutnya masih banyak persoalan mendasar seperti belum hadirnya perlindungan pada sektor pangan serta belum hadirnya kesejahteraan, kecerdasan dan kedamaian jiwa bagi para petani, peternak dan nelayan di seluruh Indonesia.

 

Ia menyebutkan, salah satu bentuk dari belum hadirnya perlindungan sektor pangan ditunjukkan dengan skor Indeks keberlanjutan pangan Indonesia yang lebih buruk dari Zimbabwe dan Ethiopia.

 

"Pada era pandemi ini, sektor tanaman pangan telah memainkan peran yang sangat penting karena hanya sektor Pertanian yang memiliki pertumbuhan positif namun anggaran pertanian terus berkurang setiap tahun, bahkan tahun 2020 lalu dipotong mencapai Rp7 triliun," ungkap Johan, Senin (16/8/2021).

 

Ia mengatakan, mestinya pemerintah menjadikan pertanian sebagai basis ekonomi nasional karena secara kewilayahan Indonesia memiliki 86,98 persen dari total desa yang punya potensi dan penghasilan utama sektor Pertanian. Namun kebijakan nasional tidak menempatkan pertanian sebagai prioritas pembangunan.

 

Di sisi lain, lanjutnya, Indonesia menunjukkan surplus beras nasional setiap tahun namun impor beras terus meningkat setiap tahun. "Produktivitas beras Indonesia berkisar antara  5,13-5,24 ton/ha dan berada sedikit di bawah Vietnam, namun biaya produksi beras Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya sehingga petani Indonesia belum sejahtera," paparnya.

 

Johan juga menyatakan, pemerintah belum berhasil meningkatkan taraf hidup petani untuk lebih sejahtera dan berbagai penyebab dari belum hadirnya kesejahteraan itu ditunjukkan dengan kenyataan harga di tingkat petani yang selalu jatuh pada saat panen, nilai tukar petani yang masih rendah, upah riil buruh tani yang cenderung melemah.

 

Kemudian adanya kemiskinan yang terpusat di pedesaan, realitas rumah tangga miskin yang bekerja di sektor Pertanian yang mencapai 46,3 persen, serta adanya perkembangan penduduk miskin selalu meningkat, di perkotaan naik 1,32 persen dan di pedesaan naik 0,6 persen setiap tahun. Demikian juga dengan perkembangan Gini Ratio dari 2015-2020 yang menunjukkan di perkotaan naik 0,06 dan di pedesaan naik 0,02.

 

Di 76 tahun Indonesia Merdeka, Johan menilai, belum menunjukkan hadirnya kecerdasan publik sektor Pertanian yang ditandai dengan hasil Survei Pertanian Antar Sensus (Sutas 2018) BPS menunjukkan bahwa petani pengguna internet hanya berjumlah 4.501.415 orang dan petani bukan pengguna internet mencapai 28.986.391 orang.

 

"Di sisi lain saat ini telah terjadi krisis petani muda, dimana berdasarkan data BPS dari tahun 2013 sampai 2020 telah terjadi penyusutan drastis petani usia produktif usia 25-34 tahun hanya tersisa sekitar 2,9 juta petani muda," tutur Johan.

 

Johan menuturkan, kemerdekaan Indonesia ternyata belum mampu menghadirkan kedamaian di hati petani yang ditandai dengan terjadinya krisis kepemilikan lahan. Sebagian besar petani hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar, bahkan berdasarkan data BPS jumlah rumah tangga petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 Hektar telah mencapai 16,25 juta rumah tangga.

 

"Saya merasakan bahwa petani kita selalu risau dan gelisah disebabkan selalu terjadi kelangkaan pupuk setiap tahun, serta adanya Impor pangan yang semakin tinggi setiap tahun yang menciderai kedaulatan pangan nasional. Maka sebagai evaluasi 76 tahun Indonesia Merdeka diperlukan garis kebijakan negara yang menunjukkan keberpihakan pada petani, peternak dan nelayan Indonesia," tutup Johan Rosihan. (dep/es)