Dedi Mulyadi menyatakan, urusan yang menyangkut masalah hutan bukan hanya sekadar urusan yang bersifat administratif saja. Menurutnya, kalau hanya baik pada urusan administratif tetapi pepohonan di hutan menjadi hilang atau lahannya berpindah, maka tidak bermakna (urusan) administratif itu. 

Dedi menyatakan, suatu bencana akibat rusaknya hutan tidak akan bisa ditahan oleh kekuatan administratif apapun.

“Yang mejadi titik fokus kita adalah masalah penggantian dari penggunaan hutan yang esensinya ditujukan untuk tetap menjaga keberadaan hutan. Ketika hutan digunakan peruntukkannya untuk kepentingan lain, seperti perkebunan, pertanian, atau kepentingan apapun, hutannya tidak boleh hilang, maka dibuatlah tanah pengganti,” tutur Dedi dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI dengan Menteri LHK Siti Nurbaya di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (26/8/2021).

 

Ia mempertanyakan, ketika penggantiannya (sesuai dengan undang-undang yang baru) dalam bentuk uang, apakah nilai penggantian itu akan sepadan antara luas lahan hutan yang dipakai dengan besaran jumlah uang pengganti tersebut.

 

“Biaya reboisasi saja mungkin angkanya jauh lebih mahal, itupun kalau reboisasinya berhasil. Namun kalau (pohonnya) mati juga karena salah menanam pohon, hutannya tetap hilang. Belum lagi tanahnya, dan uang yang masuk ke kas negara belum tentu akan dibelanjakan nantinya untuk kepentingan hutan,” ujarnya.

 

Dedi menilai, besaran nominal pengganti yang ada saat ini angkanya sangat rendah dibanding hilangnya sebuah kawasan hutan. Ia juga mengimbau agar pemerintah tidak lagi memberikan kompensasi kepada orang-orang yang sejak awal tidak memiliki niat berniat baik terkait pemanfaatan lahan kawasan hutan.

 

Mengenai perhutanan sosial, Dedi menyampaikan, secara administratif perhutanan sosial tujuan dasarnya berkaitan dengan aspek-aspek yang bersifat keadilan sosial. Dimana masyarakat yang tinggal disekitar hutan harus mendapatkan manfaat dari hutan tersebut dalam bentuk redistribusi tanah.

 

“Secara administratifnya baik, tetapi dari sisi aspek teknis pelaksanaannya Kementerian LHK tidak memiliki cukup orang untuk melakukan pengawasan di lapangan. Yang saya khawatirkan, Perhutanan Sosial dalam kurun waktu 5-10 tahun ke depan hutannya jadi hilang, dan yang ada adalah perkebunan sosial. Ini jangan sampai terjadi, karena tugas Menteri LHK aspek pertamanya adalah menjaga hutan dan menjaga lingkungan hidup,” tandasnya. (dep/es)