Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat pelaku korupsi terbanyak berasal dari kalangan aparatur sipil negara (ASN). Data ini berdasarkan penanganan kasus korupsi yang dilakukan Polri, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang Semester I 2021.
Foto hanya Ilustrasi

"Pemetaan kasus korupsi berdasarkan aktor yang paling banyak masih ASN, yaitu 162 tersangka," ujar peneliti ICW Lalola Easter dalam Rilis Virtual Hasil Pemantauan Tren Penindakan Kasus Korupsi Semester I Tahun 2021, Minggu, 12 September 2021.

Pelaku korupsi terbanyak berikutnya dari kalangan swasta yakni 105 orang. ICW tak heran dengan hasil ini, ASN dan swasta kerap melakukan pertemuan untuk membahas suatu proyek.

"Pertemuan antara ASN dan swasta itu kerap terjadi dalam proses pengadaan barang dan jasa. Itu juga masih menjadi salah satu dimensi yang paling sering ditemukan kasus korupsi," ucap Lalola.

Kepala desa menempati urutan ketiga dengan jumlah 61 orang. Mereka ditangkap akibat menggelapkan anggaran desa.

Sementara itu, aktor korupsi lainnya dari kalangan direktur utama dan karyawan BUMD sejumlah 30 orang, masyarakat 25 orang, dan aparatur desa 24 orang. Lalu, direktur utama dan karyawan BUMN 15 orang, organisasi kelompok 11 orang, ketua atau anggota DPRD 8 orang, dan bupati atau wakil bupati 7 orang.

Menurut Lalola, selama semester I tercatat satu korporasi yang ditetapkan menjadi tersangka. Penanganan kasus korupsi korporasi diharapkan tak terganjal.

"Kelanjutan penanganan korporasi itu harus dituntaskan hingga tahap akhir," kata Lalola.

ICW juga membeberkan Tren Penindakan Kasus Korupsi Semester I Tahun 2021. Tiga penegak hukum yang menangani kasus korupsi mendapat nilai E dari ICW. Ketiganya adalah Polri, Kejaksaan, dan KPK.

ICW mencatat ketiga aparat penegak hukum (APH) hanya menangani 209 kasus atau 19 persen. Total target penanganan kasus pada Semester I 2021 mestinya sebanyak 1.109.

Data itu dihimpun berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2021. Jumlah kasus yang dibeberkan ICW adalah hasil penelusuran dari laman resmi masing-masing APH dan pemberitaan media massa.

ICW tak memungkiri adanya selisih dari jumlah itu dengan data yang dimiliki masing-masing APH. ICW beranggapan hal itu karena laman resmi APH tidak informatif dan tak terbuka ke publik.(med)