Hasil penelusuran dan verifikasi zona bahaya yang dilakukan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Pulau Seram - Maluku Tengah (Malteng) menunjukkan bahwa sepanjang garis pantai pulau tersebut merupakan laut dalam dengan tebing-tebing curam yang sangat rawan longsor.

Atas kondisi yang demikian, wilayah Pulau Seram, Maluku Tengah memiliki potensi bahaya tsunami non-tektonik (tsunami yang bukan disebabkan gempa-red) yang cukup besar. "Gempa menjadi trigger terjadinya longsor yang kemudian menyebabkan gelombang. Dalam pemodelan, ternyata gempa malah membuat longsor bawah laut yang kemudian memicu tsunami," jelas Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, Kamis (9/9/2021).

Untuk itu, Kepala BMKG bersama tim dan BPBD setempat, Kepala Pusat Studi Bencana Alam Universitas Pattimura, Peneliti dari LIPI, serta Badan Geologi pada Minggu (5/9) lalu telah mengunjungi beberapa lokasi di Pulau Seram diantaranya Negeri Samasuru, Negeri Amahai, Kota Masohi, dan Negeri Tehoru guna melakukan verifikasi peta bahaya dan menyusuri jalur evakuasi, serta mendengar kesaksian dan cerita warga tentang terjadinya gempa dan tsunami masa lalu.

Dwikorita mengatakan, hingga saat ini belum ada negara yang mampu mendeteksi tsunami non tektonik secara cepat, tepat dan akurat. Sistem peringatan dini yang dibangun negara-negara di dunia adalah sistem peringatan dini tsunami akibat goncangan gempa bumi. Sehingga yang bisa dilakukan selama ini adalah memantau muka air laut dengan buoy atau tide gauge. Namun cara tersebut, dinilai kurang efektif karena sifat alat yang baru bisa menginformasikan usai kejadian tsunami.

"Jadi saat alat tersebut memberikan warning sudah terlambat, tsunami sudah datang. Karena dipicu oleh longsoran bawah laut maka estimasi waktu kedatangan tsunami bisa sangat cepat. Hanya dalam hitungan kurang dari 3 menit, seperti yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah," imbuhnya.

Oleh karena itu, Dwikorita meminta masyarakat yang berada di sepanjang garis pantai di Pulau Seram untuk segera melakukan evakuasi mandiri, dengan segera lari begitu merasakan getaran tanah atau gempa, jauhi pantai dan segera lari ke bukit-bukit atau tempat yang lebih tinggi
apabila merasakan getaran/guncangan tanah atau gempa bumi, tanpa harus menunggu peringatan dini BMKG.

"Masyarakat harus terus dilatih sehingga tahu apa yang harus dilakukan saat bencana terjadi, disamping penyiapan tempat evakuasi yang secepat mungkin dapat dicapai, melalui jalur-jalur evakuasi yang aman yang disertai rambu-rambu yang jelas. Pemerintah Daerah dengan pihak terkait pun diharapkan dapat melakukan berbagai upaya mitigasi guna mengurangi dampak dan risiko kerugian, jika sewaktu-waktu bencana gempa dan tsunami terjadi," pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG Bambang S Prayitno menuturkan, masyarakat pesisir Maluku harus dibekali pengetahuan yang cukup mengenai ancaman bahaya gempa dan tsunami. Tentang bagaimana cara menghindar, mengantisipasi hingga bagaimana mereka dapat pulih kembali dan bisa hidup harmoni dengan bencana.

Dikarenakan prediksi jarak antara waktu gempa dan tsunami sangat dekat, maka menurut Bambang masyarakat tidak perlu menunggu peringatan dini yang dikeluarkan pemerintah. "Mulai dari sekarang masyarakat harus dibiasakan untuk melakukan evakuasi mandiri," tegasnya.

Bambang membeberkan, berdasarkan pemodelan ketinggian gelombang tsunami di Provinsi Maluku dapat mencapai angka 5 - 7 meter dari muka air laut. Dengan estimasi waktu tiba tsunami berkisar 1 - 7 menit. Adapun masuknya gelombang tsunami ke darat di Kota Ambon diperkirakan dapat mencapai maksimum 1 kilometer dengan tinggi genangan maksimum diperkirakan mencapai 10 meter.

"Jika terjadi gempa, segera cari tempat aman. Tidak perlu menunggu peringatan dini atau sirine tsunami. Alarmnya adalah gempa itu. Kita berpacu dengan waktu. Semakin cepat, semakin besar kemungkinan selamat," imbuhnya.(oi)