Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI Anis Byarwati mengatakan, banyak persoalan yang kian kompleks dalam konteks agraria, tata ruang, dan pertanahan nasional. Dari 276 juta jiwa rakyat Indonesia, masih banyak yang belum memiliki tanah. Padahal Indonesia adalah negara agraris yang sebagian besar masyarakatnya bekerja pada bidang pertanian. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pertanahan berlaku sejak tahun 1960, sehingga BAKN akan merekomendasikan untuk membuat UU baru.

“Ini menjadi persoalan penting bagaimana pengelolaan tanah pertanian ini sehingga dimaksimalkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan Indonesia masih menghadapi banyak sekali persoalan struktural kemiskinan misalnya kemiskinan terkait dengan lahan, banyak persoalan kepemilikan lahan yang menjadi permasalahan. Reforma agraria yang menjadi salah satu telaah kami juga akan kita tinjau kembali bagaimana pelaksanaannya,” ungkap Anis.

 

Anis mengingatkan jangan sampai kekayaan alam ini tidak terurus atau justru menjadi lahan sengketa, sehingga tidak maksimal pembangunan yang ada di atasnya. Dan BAKN berkepentingan bisa menelaah lebih dalam persoalan-persoalan pertahanan ini termasuk juga perbaikan terhadap undang-undangnya, yakni UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pertanahan.

 

"Indonesia ini sebagaimana Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa bumi air kekayaan alam itu dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, bahwa artinya Indonesia dari segala sumber daya alam yang ada di dalamnya itu harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyat dan itu adalah perintah undang-undang karena itu harus ada upaya-upaya untuk bisa menjadikan Indonesia lebih maju lagi,” tandas Anis.

 

Anis pun berharap dengan adanya peran khusus dari BAKN DPR RI, bisa menyoroti persoalan dan memberi masukan kepada pemerintah lebih dalam lagi untuk memperbaiki persoalan-persoalan yang ada. “Seperti Undang-Undang Tahun 1960 (UU Pertanahan), kemudian terkait bagaimana reforma agraria bisa berjalan on the track, karena selama ini berjalan dengan cukup lambat," tegasnya.


Sementara Wakil Ketua Komisi II DPR RI Syamsurizal mengatakan, Komisi II DPR berupaya sungguh-sungguh untuk mencarikan solusi atas persoalan mafia tanah. Ia menyatakan, isu-isu tentang mafia tanah sendiri memang sudah ada sejak lama. Tanah yang semestinya menjadi objek kehidupan bagi masyarakat banyak, tetapi oleh oknum-oknum tertentu justru dijadikan sebagai objek yang menguntungkan bagi pribadi atau golongan tertentu saja.

 

"Kita menggunakan bahasa mafia karena mereka-mereka yang tidak berhak kemudian menggunakan pihak-pihak tertentu untuk memenuhi kepentingan sepihak. Jumlah dan keuntungan yang mereka dapatkan sangat besar. Ini yang kita katakan sebagai sesuatu yang tidak adil," ucap Syamsurizal.

 

Menurutnya, Komisi II DPR patut menyiapkan Panja untuk menggali secara dalam mengenai mafia tanah ini. Ia menyampaikan, Panja Pemberantasan Mafia Pertanahan akan  terus melakukan pengawasan di berbagai daerah di Indonesia, dan mencari daerah-daerah mana saja yang (dicurigai ) ada mafia tanahnya. "Ini yang menjadi target kita. Jawa Timur kita datangi, karena Jatim termasuk wilayah yang maju, seperti beberapa tempat lain di Indonesia. Surabaya adalah tempatnya para pengusaha-pengusaha besar," kata Syamsurizal.

 

Dijelaskannya, dari paparan yang telah disampaikan Kakanwil BPN Jatim dalam pertemuan dengan Komisi II, kerja penanganan kejahatan mafia pertanahan yang dilakukan tidak bisa optimal akibat keterbatasan anggaran. "Kerja sama mereka (BPN Jatim) dengan pihak Polda Jatim sudah ditandatangani sejak tahun 2018. Tetapi mereka mengatakan, anggarannya tidak tersedia untuk mengejar kejahatan mafia ini," urainya.

 

Selain itu, lanjut Syamsurizal, mereka juga terkendala oleh masalah data yang tidak lengkap serta tidak adanya kewenangan yang mereka miliki. "Hal itu sempat kita pertanyakan, mengapa kerjasamanya sudah ada sejak tahun 2018 tetapi kewenangannya tidak punya," kata politisi Fraksi PPP tersebut sembari menambahkan, banyak pihak-pihak tertentu seperti perusahaan yang mendapatkan hak guna usaha (HGU), namun mereka tidak mengoptimalkan pemanfaatan tanahnya sehingga terjadi lahan tidur.

 

"Dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja maka kita kejar masalah itu. Sebab itu bisa menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Jawa Timur sendiri menyumbangkan 20 persen PNBP. Kasus lainnya yaitu mereka yang mendapat HGU atas tanah dalam jumlah luasan tertentu tetapi mereka menggarapnya lebih dari yang diberikan. Ke depan, dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja, kita akan menuntut ganti rugi atau semacam denda bagi mereka. Sehingga itu menjadi PNBP bagi negara," tandasnya.

 

Syamsurizal menyatakan, Komisi II akan melakukan inventarisasi daerah-daerah yang memiliki tanah terlantar atau tidak tergarapkan. "Karena sudah ada peraturan, mereka yang tidak menggarap tanahnya selama 2 tahun maka itu menjadi milik negara. Yang dikuasai oleh pemerintah sepenuhnya. Ini masuk dalam aset bank tanah," pungkas legislator dapil Riau I tersebut. (dep/azk/sf).